Ahad 17 Sep 2017 13:31 WIB

‘Kepala Daerah Ditangkap KPK karena Ongkos Politik Mahal'

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ratna Puspita
Wali Kota Batu Eddy Rumpoko (tengah) dengan penjagaan anggota Satbrimobda Jatim keluar dari ruang Subdit III Tipidkor Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, Sabtu (16/9). Petugas KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Walikota Batu Eddy Rumpoko dan satu orang pihak swasta di rumah dinasnya diduga terkait kasus suap proyek.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Wali Kota Batu Eddy Rumpoko (tengah) dengan penjagaan anggota Satbrimobda Jatim keluar dari ruang Subdit III Tipidkor Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, Sabtu (16/9). Petugas KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Walikota Batu Eddy Rumpoko dan satu orang pihak swasta di rumah dinasnya diduga terkait kasus suap proyek.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menyesalkan kembali ditangkapnya kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan korupsi. Hal ini menyusul penangkapan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko pada Sabtu (16/9) siang yang kembali menambah daftar panjang kepala daerah yang tersangkut korupsi.

Baidowi pun tidak menutup mata banyaknya kepala daerah tersangkut korupsi karena pengadaan anggaran maupun program di daerahnya di antaranya karena mahalnya ongkos politik untuk menjadi kepala daerah. Baidowi menerangkan pengumpulan dana itu di antaranya menggunakan pengaruh jabatannya untuk memperoleh uang, yang seringkali pasti tidak sesuai dengan ketentuan. 

"Salah satunya mungkin akibat tingginya ongkos politik saat pilkada. Karena itu, seringkali untuk menutupi kebutuhan tersebut seringkali fundrising (mengumpulkan dana) dengan berbagai cara," ujar Baidowi kepada Republika, Ahad (17/9).

Menurut Baidowi biaya politik yang tinggi saat pemilihan kepala daerah bisa dihitung dari biaya konsolidasi untuk meraup suara rakyat. "Bisa dihitung dari berapa biaya konsolidasi untuk bisa meyakinkan ratusan ribu pemilih," ujarnya.

Anggota Komisi II DPR lainnya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sutriyono menyesalkan kepala daerah yang mestinya mensejahterakan masyarakat dan daerahnya justru tidak amanah. "Tentu kita menyesalkan, karena kita berharap kepala daerah bekerja untuk membangun daerahnya dan mensejahterakan rakyatnya, bukan main-main," ujar Sutriyono kepada Republika pada Ahad (17/9).

Dia berharap banyaknya kepala daerah main proyek untuk meraup keuntungan pribadi menjadi pendidikan politik kepada masyarakat. Masyarakat perlu mencermati kepala daerah yang banyak mengeluarkan uang ketika pilkada. “Kalau mengeluarkan banyak uang untuk pilkada darimana dapatnya," katanya.

Ia berharap masyarakat bisa menilai sendiri mana kepala daerah yang memilki kapasitas dan kapabilitas, bukan karena biaya kampanye yang besar. “Membangun kesadaran berdemokrasi, memang perlu waktu, Tapi pelan-pelan sudah mulai ada kesadaran, rakyat juga makin objektif melihat,” kata dia. 

Untuk itu, setiap kepala daerah yang hendak mencalonkan diri harus mengedepankan aspek keterbukaan kepada publik sehingga pilkada benar-benar proses memilih  kepala daerah yang objektif dan rasional. “Kita semua, termasuk media, sudah selayaknya turut memantau proses pilkada, kalau ada pengeluaran yamg berlebihan untuk pilkada iklan, pencitraan, harus dipublikasikan dan diumumkan sehingga nantinya melahirkan pemimpin yang kredibel dan pemimpin sejati," ujarnya.

Menurutnya, jika pendidikan politik ke masyarakat tersebut berhasil dan membuat masyarakat lebih cerdas memilih pemimpinnya maka akan menghasilkan pemimpin yang diharapkan. Untuk itu, pendidikan politik yang paling efektif terutama dilakukan dalam proses pelaksanaan pilkada harus dijaga agar objektif, transparan, tidak manipulatif, tidak ada politik uang, dan pencitraan yang kamuflase.

"Kalau ini berhasil maka akan melahirkan pemimpin yang low cost, objektif, apa adanya bukan hasil pencitraan yang bayar mahal konsultan politik, sehingga pemimpin itu akan fokus bekerja, tidak ada pikiran untuk balik modal," katanya. 

Pekan ini, KPK melakukan OTT di tiga daerah. Yakni, OTT di Kabupaten Batubara. Selanjutnya, KPK menahan Bupati Batubara OK Arya Zulkarnain dan empat tersangka lainnya dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi suap terkait dengan pekerjaan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Batubara Tahun Anggaran 2017.  

Kemudian, KPK melakukan OTT di Banjarmasin. KPK menetapkan empat tersangka dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji kepada Anggota DPRD Kota Banjarmasin terkait persetujuan Raperda Penyertaan Modal Pemkot Banjarmasin kepada PDAM Bandarmasih Kota Banjarmasin sebesar Rp 50,5 miliar. 

Satu dari empat tersangka itu termasuk Ketua DPRD Kota Banjarmasin Iwan Rusmali dan Wakil Ketua DPRD Kota Banjarmasin sekaligus Ketua Pansus Raperda Penyertaan Modal Andi Effendi. 

Terakhir, KPK melakukan OTT di Kota Batu, Jawa Timur. Dalam operasi tersebut, KPK menangkap Wali Kota Batu Eddy Rumpoko. Eddy sempat menjalani pemeriksaan di Polda Jawa Timur sebelum diterbangkan ke Jakarta dengan pesawat Lion Air, Sabtu (16/9) malam.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement