Clock Magic Wand Quran Compass Menu

Pilkada Sumbar dan Gubernur Sebelumnya

Red:

Dialog kreatif Buya Syafii Maarif dengan Irsyad Syafar di "Resonansi" Republika, Selasa (18/8), dan ruang opini Republika, Sabtu (22/8), menarik perhatian saya. Judul "Resonansi" Buya adalah, "Pilkada di Sumatra Barat 2015". Sementara judul tulisan Irsyad Syafar adalah "Pulanglah Buya". Rasanya, bahkan juga menarik perhatian kalangan tertentu di ranah ini khususnya dan umumnya semua pembaca Republika.

Sponsored
Sponsored Ads

Buktinya, beberapa media sosial mengutip kedua wacana itu. Buya dengan bahasanya yang cerdas dan bernas, sementara Irsyad dengan bahasanya yang lirih dan juga terus terang. Keduanya enak untuk direnungkan, terutama bagi yang ingin Sumatra Barat lebih maju dalam Indonesia yang lebih cemerlang dan berperadaban.

Scroll untuk membaca

Kata kunci yang dikutip Irsyad Syafar dari Buya adalah bahwa Sumbar dalam hal indeks kesejahteraan (Irsyad: kebahagiaan) terjun bebas pada angka tiga dari bawah setelah Papua dan NTB (Irsyad: NTT). Lalu, Irwan Prayitno dianggap lebih banyak mengurus kepentingan partainya daripada rakyat Sumbar.

Sebagai orang yang tinggal di Sumbar, sepanjang pemahaman dan pengetahuan saya, apa yang dikemukakan Buya Syafii dan Irsyad Syafar, kedua-duanya mempunyai nilai kebenaran. Kalau dicermati, resonansi Buya bukan hanya kepada Irwan Prayitno yang dituju, tetapi juga kepada lawan bertandingnya di Pilkada Sumbar, dalam hal ini Muslim Kasim dan Fauzi Bahar.

Akan tetapi, terhadap Irwan Prayitno ada pembelaan datang dari Irsyad Syafar anggota DPRD dari Fraksi PKS. Sedangkan terhadap Musim Kasim dan Fauzi Bahar, tidak ada pembelaan. Padahal Irsyad Syafar kalau konsisten sebagai wakil rakyat, bukan lagi milik PKS sebagaimana dia mengatakan bahwa Irwan Prayitno bukan lagi milik PKS, tentu harus membela Muslim dan Fauzi juga.

Oh ya, Irwan Prayitno bukan pengurus PKS di Sumbar, tetapi anggota Majelis Syura pada tingkat nasional. Artinya, posisinya lebih menentukan dalam segala hal. Dan itu tidak berarti dia harus hari-hari ikut rapat atau hadir dalam acara-acara PKS tingkat wilayah, daerah, dan cabang lagi seperti yang disinggung Irsyad Syafar. Itu bukan maqamnya.

Lebih dari itu, ketika Irsyad Syafar membela Irwan Prayitno mengenai hasil survei BPS (2015) tentang indeks kebahagiaan tidak sama dengan kesejahteraan, dia menggiring kepada pendekatan subjektif dan kualitatif. Membedakan kebahagiaan dengan kesejahteraan tidak dengan angka-angka. Tetapi, ketika Irsyad Syafar mengemukakan kesuksesan Irwan Prayitno, yang dikemukakan adalah kuantitatif dengan persentase dan angka-angka.

Apa yang dikutip oleh Irsyad semuanya ada di dalam buku ukuran saku yang diterbitkan dan dicetak oleh PT Grafika Jaya Sumbar (milik Pemda Prov Sumbar) Januari 2015 dengan editor Yongki Salmeno teman Irwan Prayitno yang sehari-hari dekat dengannya. Buku kecil itu sebagai data dan fakta yang dibuat Irwan Prayitno seakan-akan pertanggungjawabannya selama memimpin Sumbar, tetapi bukan resmi dari pemerintah provinsi.

Isi buku dibuka dengan pendahuluan dan pujian seorang teman dan diakhiri dengan riwayat hidup Irwan Prayitno. Lalu isi di dalamnya ada dua hal. Pertama, 315 indikator kemajuan pembangunan Sumbar, yang kedua prestasi dan penghargaan sebanyak 194 butir. Lalu ada dua ilustrasi gambar tentang pembangunan jalan Padang By Pass yang mulus kalau nanti sudah jadi (sekarang belum selesai).

Maka, Irsyad Syafar mengutip sebagian kecil dari 315 indikator tadi. Begitu pula soal apa yang dinamakan penghargaan dan prestasi juga dikutip oleh Irsyad dari 194 tadi. Maka di dalam pikiran saya, semua gubernur yang akan mengakhiri masa jabatannya membuat laporan seperti itu.

Akan tetapi, ada yang mengusik pikiran saya ketika Irsyad Syafar mengatakan "prestasi yang dicapai Irwan selama lima tahun memimpin Sumbar adalah fakta yang tak terbantahkan, belum pernah dicapai gubernur-gubernur sebelumnya".

Lalu, Irsyad Syafar menerangkan yang dimaksudnya, kembali ke buku Irwan Prayitno soal LKPJ, WTP dari BPK, pemuda pelopor, tour sepeda, penyaluran dana BOS, rehab-rekon pascabencana, dan seterusnya.

Irsyad lupa menyentuh soal pariwisata yang belum optimal. Perolehan prestasi pendidikan yang juga belum pada deretan papan atas di tingkat nasional. Padang, ibu kota provinsi dan gerbang Sumbar, mestinya menjadi wilayah binaan dan pengawasan utama oleh gubernur, tetapi belum bersih seperti zaman Syahrul Udjud menjabat wali kota. Ada gelagat, semua yang baik diklaim dan semua yang kurang belum disebut.

Orang rantau yang gelisah karena komuniksi yang terputus. Investor gamang masuk ke Sumbar antara lain karena soal lahan. Banyak MoU dengan calon investor yang tak ada realisasinya. Gamangnya beberapa pihak terhadap investor luar yang dianggap punya misi lain dan seterusnya.

Lalu amnesia pula menyebut bahwa semua pembangunan yang monumental seperti Masjid Raya, Kelok Sembilan, Jalan Raya Sicincin-Malalak, dan lainnya adalah kelanjutan dari pekerjaan gubernur-gubernur sebelumnya. Bahwa sampai sekarang macet berat mulai dari Koto Baru ke Bukittinggi belum teratasi dan bila musim libur atau Lebaran datang dari Padang ke Payakumbuh yang 110 kilometer itu ditempuh 9 jam.

Hotel Balairung Minang berlantai 13 di Matraman Jakarta dibangun oleh gubernur sebelumnya. Pembangunan kembali Istano Basa yang terbakar 2006 dibangun oleh gubernur sebelumnya. Beasiswa dari pemda untuk melanjutkan sekolah dalam dan luar negeri dan pembangun asrama mahasiswa Minang empat lantai di Kairo, Mesir, oleh gubernur sebelumnya. Semua perguruan tinggi di Sumbar mendapat bantuan untuk beasiswa dosen ke S-2 dan S-3 waktu itu.

Saya khawatir pembaca tersinggung ketika membandingkan Irwan Prayitno dengan Gamawan Fauzi, Zainal Bakar, Hasan Basri Durin, Azwar Anas, dan Harun Zain, semuanya gubernur-gubernur sebelumnya. Padahal, di zaman gubernur sebelumnya, prestasi monumental penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sudah diukir. Antara lain, penghargaan tertinggi Samkarya Nugraha Parasamya Purna Karya Nugraha di zaman Gubernur Azwar Anas dan Hasan Basri Durin.

Untuk tahun 2014 diterima oleh gubernur Jawa Tengah pada peringatan Hari Otonomi Derah ke-18 di Istana Negara Jakarta, diserahkan oleh Presiden SBY, Jumat (25/4/14). Parasamya paling baru diserahkan Presiden Jokowi 27 April 2015 di istana. Tiga besar penerima Parasamya itu Jatim, Jateng, dan DIY.

Ukurannya jelas bukan hal-hal yang rutin seperti yang disebutkan oleh Irsyad di atas yang hal itu siapa pun gubernurnya akan melakukan. Menurut Prof Dr Djohermansyah Djohan, mantan dirjen otoda Kementerian Dalam Negeri, pada lima tahun terakhir penilaian untuk anugerah luar biasa tadi itu terus dilakukan. Namun, Sumbar belum memperoleh prestasi angka satu atau bahkan belum pada tiga besar. Sumbar baru pada peringkat nomor 20 dari 34 provinsi di Indonesia.

Variabel yang menentukan, di antaranya, indeks perolehan kinerja dalam EKPPD (Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah). Paling pokok tiga aspek. Wilayah inisiator dan penentu kebijakan. Penilaian berlaku terhadap kinerja kepala daerah dan DPRD.

Tataran pelaksana kebijakan, di antaranya, penilaian terhadap kinerja 47 SKPD. Begitu pula penilaian dan capaian urusan pemerintah, yaitu penilaian perolehan kinerja 26 urusan wajib dan delapan urusan pilihan. Hal lain yang pokok lagi penilaian terhadap indeks kesesuaian materi antara LPPD dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007.

Di atas segalanya itu, saya menangkap apa yang dirisaukan oleh Buya adalah pada tataran monumental tersebut di atas tadi. Itu pula yang diinginkan Buya bahwa gubernur Sumbar mendatang adalah "petarung sejati", bukan yang biasa-biasa saja. Sekadar tambahan, meski zaman Orde Baru sudah tinggal kenangan, zaman Rudini sebagai mendagri (1988-1993) dulu, kepala daerah yang dapat Parasamya saja yang boleh maju untuk pemilihan periode kedua.

Akhirnya, di balik itu semua, apa yang menjadi wacana Irsyad Syafar sangatlah saya hargai karena bagaimanapun telah memberikan penjelasan terhadap resonansi Buya sehingga ada perbandingan pemikiran. Begitu pula tulisan saya ini dimaksudkan untuk mengasah pikiran, bukan menolak dan meniadakan. Allah Yang Mahatahu. n

Shofwan Karim

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang

Berita Terkait

Berita Terkait

Rekomendasi

Republika TV

>

Terpopuler

>