Clock Magic Wand Quran Compass Menu

Pascakonferensi OKI dan Agenda Masa Depan

Red:

Pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTTLB) Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ke-5 di Jakarta merupakan simbol atas solidaritas terhadap bangsa Palestina. Hal ini tentunya menjadi sebuah simbol harapan baru di tengah konflik di antara sesama Muslim yang masih terjadi sampai saat ini, khususnya di Timur Tengah.

Sponsored
Sponsored Ads

Selama dua hari, para delegasi negara anggota OKI bekerja sama membahas enam isu krusial terkait Palestina, yaitu masalah perbatasan, pengungsi Palestina, sengketa Kota Yerusalem, permukiman ilegal, keamanan, dan akses air bersih.

Scroll untuk membaca

Hasilnya, terdapat 32 poin resolusi dan 23 poin Deklarasi Jakarta yang disepakati. Kesepakatan tersebut perlu diapresiasi karena menjadi langkah baru untuk mendorong masyarakat internasional agar lebih peduli dengan isu Palestina seraya terus mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar segera mengakui kemerdekaan negara tersebut.

Secara realita, implementasi resolusi dan deklarasi tersebut akan menemui rintangan terjal dan berliku. Hal ini mengingat beberapa faktor. Pertama, dunia internasional saat ini masih menerapkan sistem Westphalia. Sistem ini menekankan pentingnya keberadaan negara-bangsa sebagai aktor utama yang menentukan berbagai persoalan yang ada di dunia.

Ketiadaan organisasi supranasional yang mampu memaksa dan mengikat negara-bangsa untuk tunduk kepadanya menjadikan sistem internasional berada dalam kondisi anarkistis. Artinya, setiap negara lebih memilih untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya, ketimbang kepentingan bersama yang telah disepakati, baik di tingkat regional maupun internasional.

Dengan demikian, pascapelaksanaan KTTLB, setiap negara anggota akan mengevaluasi resolusi dan deklarasi tersebut untuk disesuaikan dengan kepentingan nasionalnya, terutama bagi negara anggota yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Bahkan, hasil KTTLB akan menjadi formalitas belaka apabila kebijakan tersebut tidak dilaksanakan secara nyata ketika negara anggota berpendapat jika isi resolusi dan deklarasi lebih banyak membawa kerugian ketimbang keuntungan.

Kedua, ada dilema dalam OKI ketika mereka tidak memiliki kemampuan memaksa setiap anggotanya untuk tunduk pada kebijakan yang dibuat. Termasuk dalam hal ini adalah resolusi dan Deklarasi Jakarta yang tidak memiliki sifat mengikat. Selain itu, tidak ada mekanisme sanksi bagi negara anggota yang tidak menjalankan ataupun melanggar resolusi dan deklarasi tersebut.

Padahal jika merujuk pada sejarah, OKI dan Palestina adalah suatu hal yang tidak terpisahkan. Hal ini mengingat latar belakang sejarah berdirinya OKI sebagai respons umat Islam atas peristiwa pembakaran Masjid al-Aqsa yang dilakukan Israel pada 1969. Sejatinya, tujuan historis OKI adalah untuk membebaskan Masjid al-Aqsa khususnya, dan Palestina umumnya, dari pendudukan Israel. Ironisnya, sampai saat ini tujuan tersebut masih sulit untuk diwujudkan.

Ketiga, persoalan pelik yang juga menjadi sorotan dalam tubuh OKI adalah mengenai konflik di antara negara anggotanya, baik yang bersifat fisik (perang) maupun perebutan pengaruh pemikiran dan kepemimpinan. Tentu saja hal ini patut disayangkan karena menyebabkan OKI tidak bisa berfungsi maksimal. Hal ini dikarenakan tarik-menarik kepentingan antarnegara anggota akan menjadi lebih dominan ketimbang upaya mewujudkan kepentingan umat Islam itu sendiri.

Tarik-menarik yang ada merupakan bukti jika negara anggota cederung mengedepankan kepentingan nasionalnya. Padahal, umat Islam sejatinya adalah bersaudara dan apabila ada di antara umat yang bertikai harus segera didamaikan (QS al-Hujurat [49]: 10).

Jika ada pertentangan di antara umat, berpeganglah kepada Allah SWT (Alquran) dan janganlah bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas (QS Ali Imran [3]: 103-105). Ketika umat Islam masih gemar berbantah-bantahan, maka hal itulah yang membuat mereka menjadi gentar dan kehilangan kekuatan (QS al-Anfal [8]: 46).

Dari KTTLB Jakarta, OKI setidaknya memiliki tiga agenda utama yang harus diwujudkan. Pertama, OKI harus menyosialisasikan hasil resolusi dan Deklarasi Jakarta kepada masyarakat internasional agar persoalan Palestina menjadi isu global.

Di samping itu, OKI harus melakukan komunikasi dan negosiasi secara intensif kepada kuartet perdamaian Timur Tengah, yaitu PBB, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Rusia. Bahkan OKI perlu masuk ke dalam kelompok tersebut sebagai representasi dari kelompok Islam. Hal ini dikarenakan selama ini upaya perdamaian Timur Tengah umumnya, dan Palestina khususnya, justru lebih baik diinisiasi dan dipimpin dari pihak Barat, bukan dari internal masyarakat Timur Tengah.

Kedua, OKI perlu meningkatkan komunikasi dan negosiasi sekaligus menjadi mediator antara kelompok Hamas dan Fatah yang hingga saat ini belum memiliki visi yang sama terkait masa depan Palestina. Ironisnya, kedua kelompok yang menjadi harapan rakyat Palestina tersebut saling berkonflik yang secara nyata melemahkan perjuangan rakyat Palestina itu sendiri.

Ketiga, perlunya reformasi dalam tubuh OKI agar mampu menjelma menjadi organisasi yang lebih efektif dan efisien dalam menjalankan setiap kebijakan yang dihasilkan. Pergantian nama dari Organisasi Konferensi Islam menjadi Organisasi Kerja Sama Islam yang diikuti dengan perubahan logo merupakan langkah awal yang positif.

Namun, langkah tersebut harus dikembangkan lebih lanjut dengan mengubah mekanisme pengambilan keputusan dan menghadirkan sanksi bagi negara anggota yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini perlu dilakukan guna mewujudkan OKI yang lebih kuat dan memiliki bargaining position yang lebih baik terhadap negara maupun organisasi internasional lainnya.

Umat Islam, pada hakikatnya, menaruh harapan besar kepada OKI agar mampu menjelma menjadi kekuatan politik strategis yang membawa agenda-agenda umat Islam dalam konstelasi politik global. Untuk itu, OKI, sebagai simbol ukhuwah Islamiyah, harus senantiasa menyerukan persatuan umat demi meminimalisasi potensi konflik antarnegara anggota sekaligus mendorong kerja sama strategis yang berkelanjutan.

Tujuannya tidak lain adalah untuk mengembalikan kembali nilai-nilai perdaban dan kejayaan Islam. 

Rizky Hikmawan

Dosen Tidak Tetap Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta

Berita Terkait

Berita Terkait

Rekomendasi

Republika TV

>

Terpopuler

>
x close