Ahad 25 Nov 2018 14:04 WIB

DMI Larang Penggunaan Masjid Sebagai Sarana Politik Praktis

Politik praktis adalah penceramah yang mengajak umat untuk mendukung salah satu calon

Rep: Muhyiddin/ Red: Esthi Maharani
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Jusuf Kalla
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Jusuf Kalla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia sekaligis Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla menutup Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Hotel Grand Sahid Jaya pada Ahad (25/11). Rakernas yang telah diselenggarakan selama tiga hari ini menghasilkan tujuh rekomendasi internal dan eksternal, salah satunya adalah melarang masjid sebagai sarana kegiatan politik praktis.

Penutupan Rakernas DMI ini juga dihadiri Wakil Ketum DMI Syafruddin, Sekjen DMI Imam Addaruquthni, dan Ketua PP DMI Rudiantara yang juga merupakan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Menurut Rudiantara, dari tujuh rekomendasi tersebut yang terpenting adalah poin terakhir.

"Yang penting adalah yang terakhir yaitu merekomendasikan untuk melarang penggunaan masjid sebagai sarana kegiatan politik praktis sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," ujar Rudiantara saat ditemui usai acara penutupan.

Menurut dia, DMI senantiasa mendukung proses demokrasi yang aman, damai, demokratis, tanpa hoaks. Namun, kata dia, jika ada penceramah yang menyampaikan kritik membangun terhadap pemerintah bukan berarti masuk dalam kategori politik praktis.

Menurut dia, politik praktis yang dimaksud itu adalah penceramah yang mengajak umat untuk mendukung salah satu calon atau kelompok. Hal senada juga disampaikan Sekjen DMI Imam Addaruquthni. Menurut Imam, jika ada penceramah di masjid yang menyampaikan politik praktis maka bukan akan menyatukan umat lagi, tapi justru bisa menjadi pemecah belah.

"Tapi bukan berarti masjid tidak ada isu politik di situ. Yang dimaksudkan adalah poltik praktis misalnya dukung mendukung pada kelompok satu, apalagi kepartaian. Jadi bicara politik yang konstruktif, bukan konfrontratif," ucapnya kepada Republika.co.id.

Sementara itu, Jusuf Kalla menjelaskan bahwa ada tiga tempat yang tidak bisa dijadikan sebagai sarana politik praktis, yaitu masjid, sekolah, dan dunia pendidikan. Namun, menurut dia, politisasi masjid itu bukan hanya harus diantisipasi oleh DMI saja, tapi juga harus diantisipasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

"Itu bukan hanya urusan DMI, tapi undang-undang juga. Jadi nanti Bawaslu mewaspadai juga kalau ada," kata Kalla usai menutup Rakernas DMI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement