Rabu 06 Feb 2019 21:58 WIB

Taliban: Perdamaian Lebih Sulit daripada Perang

Taliban tidak setuju gencatan senjata hingga pasukan asing ditarik dari Afghanistan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Militan Taliban bergerak di Afganistan.
Foto: Mirror
Militan Taliban bergerak di Afganistan.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Kelompok Taliban tidak menyetujui adanya gencatan senjata hingga pasukan asing ditarik dari Afghanistan. Pejabat Taliban, Sher Mohammad Abbas Stanikzai mengatakan, para gerilyawan tidak ingin menggunakan kekuatan militer untuk merebut kembali Afghanistan.

"Itu tidak akan membawa perdamaian ke Afghanistan," ujar Stanikzai kepada BBC ketika menghadiri pertemuan di Moskow dengan sejumlah politisi senior oposisi Afghanistan, Rabu (6/2).

Stanikzai mengatakan, Taliban memiliki pengalaman pada era 1990an ketika menghadapi oposisi bersenjata. Berdasarkan hal tersebut, kelompok Taliban berpendapat, perdamaian lebih baik dicapai melalui perundingan ketimbang berperang. Namun, dia tidak menampik perundingan untuk terciptanya perdamaian di Afghanistan juga mengalami sejumlah kendala. Adapun dia berharap konflik di Afghanistan dapat diakhiri.

"Perdamaian lebih sulit daripada perang," kata Stanikzai.

Dalam beberapa bulan terakhir, Stanikzai telah menghadiri serangkaian pertemuan dengan utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk rekonsiliasi Afghanistan. Pada Januari, perundingan tersebut telah menghasilkan sebuah kerangka kerja yang didasarkan pada komitmen untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan. Selain itu, Taliban juga menjamin tidak akan membiarkan kelompok-kelompok jihadis internasional menggunakan Afghanistan sebagai markas mereka di masa depan.

Dalam sebuah pertemuan di Moskow, Stanikzai mengatakan, Taliban tidak menginginkan monopoli kekuasan. Namun, konstitusi Afghanistan yang telah diimpor dari barat merupakan penghalang bagi terciptnya perdamaian. Adapun pertemuan di Moskow dihadiri oleh delegasi Taliban, tokoh-tokoh oposisi serta mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzai. Pertemuan tersebut membicarakan tentang masa depan pemerintahan Afghanistan dan kemungkinan jika Taliban menjadi kekuatan politik arus utama.

Taliban berkuasa di Afghanistan pada periode 1996-2001. Kelompok itu terkenal karena perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Ketika itu, perempuan di Afghanistan dilarang untuk pergi ke sekolah dan bekerja.

Stanikzai menegaskan, kaum perempuan Afghanistan tidak perlu khawatir jika Taliban menjadi kekuatan politik arus utama. Stanikzai memastikan Taliban akan memberikan semua hak wanita sesuai dengan aturan Islam dan budaya Afganistan.

"Mereka bisa sekolah, mereka bisa ke universitas, mereka bisa bekerja," ujar Stanikzai.

Sementara itu, seorang anggota parlemen Afghanistan Fawzia Koofi menanggapi positif terkait keberpihakan Taliban dalam memberikan hak kepada perempuan. Koofi mengatakan, seorang anggota Taliban pernah berkata kepadanya bahwa perempuan seharusnya tidak bisa menjadi presiden, namun mereka bisa tetap bekerja di kantor politik.

"Kita perlu memastikan semua yang mereka katakan adalah benar dan sungguh-sungguh," ujar Koofi.

Presiden Afghanistan Ashraf Ghani telah berulang kali meminta Taliban untuk memulai negosiasi langsung dengan pemerintah. Sejauh ini, Taliban kerap menolak ajakan negosiasi tersebut.

Adapun pertemuan di Moskow tidak dihadiri oleh perwakilan Pemerintah Afghanistan. Berbicara kepada saluran televisi Afghanistan, TOLOnews, Presiden Ghani mengatakan, pihak-pihak yang melakukan pertemuan di Moskow tidak memiliki otoritas eksekutif.

"Mereka yang berkumpul di Moskow tidak mempunyai otoritas eksekutif, mereka dapat mengatakan apa yang mereka inginkan," ujar Ghani.

Terlepas dari pertemuan di Moskow, putaran lanjutan untuk pembicaraan AS-Taliban dijadwalkan pada 25 Februari 2019. Di sisi lain, kekerasan di Afghanistan terus berlanjut. Pada Selasa lalu, pasukan Taliban dilaporkan telah membunuh puluhan anggota pasukan keamanan Afghanistan dalam serangkaian serangan udara.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement