Kamis 21 Mar 2019 06:11 WIB

Saatnya Sebut Supremasi Kulit Putih Teroris

Supremasi Kulit Putih terus meneror komunitas yang mereka benci.

 Ani Nursalikah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*

Supremasi kulit putih kembali menjadi kalimat yang berseliweran sejak insiden mengerikan pekan lalu di Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru. Seorang pria tanpa kenal belas kasihan membombardir jamaah yang sedang shalat Jumat pekan lalu.

Sebanyak 50 orang meninggal dan 50 lainnya terluka akibat terjangan peluru dari senapan otomatis. Belakangan diketahui pelaku adalah seorang warga Australia, berkulit putih, dan berusia 28 tahun. Saya sepakat dengan Perdana Menteri Australia Jacinda Ardern yang memilih tidak menyebut nama teroris itu. Marilah kita kenang para korban dan tidak memberi tempat pada pelaku.

Warganet bereaksi. Media sosial riuh dengan penyebutan serangan ini. Umat Muslim di seluruh dunia menanti bagaimana serangan ini diperlakukan.

Awalnya, Ardern menyebut penembakan sebagai tindakan kekerasan luar biasa. Saat didesak wartawan soal penjelasan serangan itu, ia mengulanginya kembali.

Namun, tidak sampai dua jam, Ardern dan timpalannya dari Australia menyebut serangan itu serangan teroris. Secara umum, ketika pelaku serangan teror adalah seorang Muslim, media Barat dengan cepat menjadikan rasnya, asalnya, dan agamanya sebagai tajuk utama. Di kasus penembakan Christchurch, media tidak melabeli pelaku sebagai 'teroris kulit putih' atau 'teroris Kristen'

Kalimat 'supremasi kulit putih' kemudian mengemuka. Tidak lama setelah tragedi penembakan, media Selandia Baru dengan menyebut pelaku merupakan pengagum gagasan supremasi kulit putih.

Hal ini turut didukung dengan fakta pelaku sebelumnya mengunggah sebuah manifesto sebanyak 73 halaman di akun Twitter-nya. Motifnya melakukan penembakan tersebut untuk mengurangi tingkat imigrasi ke tanah-tanah Eropa. Tak hanya itu dia juga ingin membalas dendam terhadap serangan teror yang melanda Eropa beberapa waktu lalu.

Pembantaian umat Muslim itu, yang jumlahnya bahkan melebihi tingkat rata-rata pembunuhan tahunan di Selandia Baru, perlu kita sebut sebagaimana adanya, yakni aksi terorisme. Selama beberapa dekade ekstremis telah meneror komunitas yang mereka benci.

Presiden Donald Trump boleh saja acuh terhadap kelompok supremasi kulit putih. Dia bahkan mengecilkan kelompok ini dengan menyebut hanya sekelompok kecil orang.

Tetapi, Trump tidak bisa menutup mata. Mengutip dari Vox, data Anti-Defamation League (ADL) menunjukkan upaya propaganda supremasi kulit putih naik 182 persen tahun lalu. Terdapat 1.187 insiden supremasi kulit putih di seluruh AS pada 2018 atau naik dari 421 insiden pada 2017.

Jumlah demonstrasi rasial juga meningkat tahun lalu. Data ADL Februari lalu menunjukkan sedikitnya ada 91 unjuk rasa supremasi kulit putih pada 2018 atau naik dari 76 pada tahun sebelumnya. Untuk menyegarkan ingatan, berikut ini beberapa insiden penyerangan yang dilakukan teroris kulit putih, dilansir di Axios.

- 2012: Teroris supremasi kulit putih menewaskan enam orang di kuil Sikh di Oak Creek, Wisconsin

 

- 2015: Teroris supremasi kulit putih menewaskan sembilan orang gereja Emanuel African Methodist Episcopal Church di Charleston

- 2017: Teroris supremasi kulit putih menewaskan enam orang di masjid di Quebec City

- 2018: Teroris supremasi kulit putih menewaskan 11 orang di sinagoge di Pittsburgh

The Conversation melansir, tahun lalu nasionalis kulit putih membunuh sedikitnya 50 orang di AS. Dari sejumlah kasus di atas, jelas teroris menargetkan tempat ibadah. Melihat puluhan nyawa tak bersalah melayang di dalam masjid tanpa sempat melakukan perlawanan, bukankah sudah cukup membuktikan betapa berbahayanya ideologi supremasi kulit putih.

Skala kehancuran yang ia sebabkan bukan hanya tentang 50 nyawa di Selandia Baru. Kehilangan dan penderitaan yang ia sebabkan juga berdampak pada keluarga korban, teman, seisi kota Christchurch, bahkan dunia. Ia mempengaruhi banyak hal dan banyak orang. Mengingat hal itu sudah saatnya menyebut supremasi kulit putih ini teroris.

Sayangnya, hal itu tampaknya coba disangkal oleh Presiden AS Donald Trump. Trump mengatakan supremasi kulit putih hanya sekelompok kecil orang. Tentu saja, ucapan Trump usai penembakan itu menuai kecaman.

Tak bisa dipungkiri, gerakan supremasi kulit putih punya sejarah yang terentang panjang di AS. Negara ini dianggap sebagai pengimpor ideologi tersebut. Kita tahu penembak di Christchurch terinspirasi dari nasionalisme kulit putih di AS. Hal itu diketahui dari manisfesto yang pelaku unggah.

Di Eropa, supremasi kulit putih dipicu gelombang migran dari Suriah dan Timur Tengah yang lari dari perang pada 2015. Media memberitakan banyak kasus kekerasan pada pengungsi sampai pembakaran lokasi pengungsian. Tragedi yang terjadi di Selandia baru adalah bukti teranyar bahayanya supremasi kulit putih terhadap tatanan masyarakat di seluruh dunia.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement