Serangan Panik Yusuf Hilang Setelah Jadi Mualaf

Yusuf terpikat Alquran.

EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Serangan Panik Yusuf Hilang Setelah Jadi Mualaf. Ilustrasi
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jeremy atau yang kini dikenal sebagai Yusuf (37 tahun) masih mengenang bagaimana ia kerap mendapat serangan panik di masa mudanya. Menurut dia, hal tersebut dikarenakan gaya hidup dan stereotip anak muda lainnya di Leeds, Inggris.

Baca Juga

Dia mengaku, terlahir di keluarga Kristen taat membuatnya mendalami Pendidikan agama di sekolah-sekolah Gereja Inggris. Namun sayang, seiring waktu ketika beranjak remaja, obsesi terhadap kriket dan musik membawanya kepada gaya hidup yang berubah drastis.

“Ketika saya menginjak usia remaja, saya mulai mengalami kehidupan dengan cara baru,” ujar dia seperti dilansir Leeds New Muslim, Jumat (12/6).

Dia menambahkan, pada saat yang sama di akhir masa remaja itu ia mengalami rasa tekanan dan masalah kecemasan yang parah. Menurut dia, itu karena gaya hidup yang dilakukannya.

Meski tumbuh dan dikelilingi orang beragama serta kerap melakukan interaksi dengan Tuhan saat kecil dulu, ia tak bisa merasakan hal itu kembali karena berbagai pengaruh. Pada satu titik, ia merasa itu adalah akhir hidupnya.

“Saya selalu percaya pada kekuatan ilahi, dan pada kenyataannya selalu cukup yakin bahwa alam semesta diciptakan mengingat seberapa tertata itu,” ujar warga Leeds itu.

 

 

Masih merasakan serangan paniknya, Yusuf mengingat, saat itu ia bertemu wanita muda Muslim yang kemudian dia cintai. Sebagai pemuda, ia yakin bahwa wanita itu juga merasakan hal yang sama.

Belum pulih dari rasa cemasnya, ia kemudian mengetahui bahwa wanita Muslim tak diperbolehkan berhubungan dengan pria non-Muslim.

Kekagumannya pada wanita dengan kebijaksanaan, kecantikan dan kecerdasannya itu membuat dia merasa kesal karena kedekatan yang dilarang itu bertentangan dengan pemikirannya selama ini.

“Tapi saya kagum padanya, wanita pandai itu menemukan kondisi yang benar-benar tepat,” ucapnya.

Selang beberapa waktu, serangan paniknya memang berkurang. Hingga akhirnya ia bertanya pada wanita yang dicintainya itu, ‘apa itu Islam?’. Semenjak kejadian itu, ia mulai membuka diri untuk berdialog mengenaiagama, politik, sosiologi, dan aspek budaya populer.

“Awalnya saya tidak punya niat untuk menjadi Muslim. Tetapi, saya selalu dikejutkan oleh kebijaksanaan alaminya,” ungkap dia.

Hingga suatu saat, dia diberi terjemahan Alquran dan membersihkan muka, tangan, lengan, kepala, telinga dan kaki sebelum membacanya setiap malam. Alhasil, sebagai pembaca baru yang mendapat keseriusan, ia mendapat banyak makna untuk direnungkan.

“Saya terpikat. Bukan karena para Nabi yang diceritakan di dalamnya. Tapi, karena mampu menjelaskan kondisi saya sendiri,” ujar bungsu kesayangan dari orang tua misionaris tersebut.

 

 

Pada suatu malam ketika ia membaca Alquran surat An-Nur ia mendapati kekagumannya pada Allah SWT. Bukan tanpa sebab, di situ ia menemukan bahwa Allah adalah Terang langit dan bumi. Metafora Cahaya-Nya adalah ceruk, cahaya dari cahaya, yang ia sebut, terang yang membimbing petunjuk pada siapapun yang dikendaki-Nya.

“Dan Allah memiliki pengetahuan tentang segala hal,” jelasnya.

Pada saat membacanya, ia mendapat perasaan damai dan bahagia, sekaligus pengetahuan mendalam. Meski ia tak tahu dari mana sumber perasaan itu, dirinya yakin hal tersebut berasal dari dorongan diri sendiri dan petunjuk Allah.

“Agak kaget dengan ini, saya terus membaca sampai saya terfokus pada ayat 39-40,” ungkap dia.

 

Dari surat tersebut, ia kembali menemukan diri dan mampu menghilangkan rasa cemas karena sempat mengejar fatamorgana gaya hidup untuk disukai, dihormati dan segala tuntutan pandangan orang. Alih-alih mendapat pengakuan dari gaya hidup yang dikejarnya, dia mendapat kecemasan, depresi dan serangan panik yang menjadi trauma mendalam

 

“Dari titik ini saya mulai merasakan hubungan nyata dengan Islam dan Alquran. Ibu teman saya kemudian membelikan saya buku untuk mengajari saya sholat dan saya implementasikan,” tuturnya.

 

Pada saat tersebut, tepatnya 2 Mei 2005 saat usianya 21 tahun, ia mengucap dua kalimat sahadat dan menjadi Muslim. Sejak hari itu juga, ia mengaku menemukan panduan dalam berserah diri pada sang pencipta, Allah SWT.

 

“Menjadi Muslim bukan tanpa kesulitan, tetapi kesulitan-kesulitan ini membantu memahami kapasitas diriuntuk menghadapi apa yang ada di kehidupan,” ungkap dia.

 

 

 
Berita Terpopuler