Ahad 05 Jul 2020 10:27 WIB
Komunis

Al Fatihah dan Ziarah ke Makam Moyang Komunis

Tak ada fatihah ketika berkunjung ke makam moyang komunis Karl Marx

Kuburan Karl Marx di London.
Foto: The Times
Kuburan Karl Marx di London.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fachry Ali MA, Pengamat Sosial Keagamaan

"Which Marx," kata R Ariel Heryanto, yang tiba-tiba masuk dan membuat pembicaraan ahli politik Indonesia William Liddle dari Ohio State University terhenti sejenak. Liddle menjadi pembicara informal dalam acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di Monash University, Clayton, Melbourne —yang berlangsung di rumah Bu Tuti padaawal 1990-an.

Liddle yg menginap di rumah saya, dalam pembicaraan itu ‘mengeritik pandangan Marx. Inilah yg mendorong Ariel, yang sebelumnya hanya berada di luar, memberikan reaksi. Liddle terkejut dan dengan spontan berkata: ‘Hai Ariel.’

Nah, setahun silam, sore hari ini, 5 Juli 2019, saya teringat keterlambatan datang mengunjungi makam Karl Marx di London. Di makamkan dipusat kapitalisme dunia abad ke-18 dan 19, Marx masih menyihir manusia abad ke-21.

Di depan kompleks pemakamannya, tertulis program tur ke kuburan bapak moyangnya komunis ini, sepeti terlihat dalam gambar di atas. Maka, di sore hari yg cerah itu, saya hanya bisa berfoto di pintu gerbang makam yg telah tutup itu. Juga, saya kira, Marx tak perlu kiriman al-Fatihah dari saya. Juga dari siapapun.

                                         *****

Dan terkait soal 'ziarah' ke makam Karl Marx di London, Republika.co.id pernah menulis begini. Tulisan itu dimuat pada hari-hari ketika Fachry Ali tengah berasa di London, Inggris. Tulisannya begini:

Mengikuti perjalanan pengamat sosial Fachry Ali melakukan kunjungan muhibah keliling dunia memang menarik. Apalagi perjalanannya sangat panjang menyinggahi berbagai negara di berbagi benua.



Dua pekan lalu saya sempat bercakap melalui telepon bila dirinya tengah berada di Tokyo, Jepang. Ini terlihat ketika dia mengirimkan fotonya tengah berada di kuil Yasukuni, kuil yang atas perintah sang kaisar ’negara matahari terbit’ itu dibangun untuk mengenang jasa para pahlawan Jepang pada perang dunia II.



Uniknya lagi, saat  bercakap melalui telepon kami berdua sempat berdiskui soal seluk beluk budaya kekuasaan. Saya ajak dia mengomentari budaya kekuasaan Jawa (pada zaman Mataram) yang kini terasa masih eksis.

Fachry terkejut ketika saya ajak ‘ngomong’ tesis Ben Anderson, seorang Indonesianis, yang meneliti banyak soal langgam kekuasaan para raja Mataram di Jawa itu. Dia kemudian bercerita soal 'Politik-Ekonomi di dalam kekuasaan Jawa'.



‘’Lha ini pas aku teringat Pak Ben Andeson, kok kamu tepat nelepon soal dia. Oh ya besok saya ke Negeria dari Jepang langsung, tanpa lewat Jakarta,’’ sahut dia sembari tertawa lebar.

Di situ saya berpikir ‘Abangda’ Fachri tengah membanding-bandingkan dua budaya kekuasaan, yakni Indonesia (Jawa) dan Jepang.

photo

  • Keterangan Foto: Fachry Ali di Kuil Yasukuni, Tokyo.

Beberapa hari kemudian benar Fachry melalui media sosial mengatakan siap pergi ke Bandara, Narita untuk terbang langsung ke Baku. Lucunya,  dia malah kemudian mengaku sempat ketinggalan pesawat yang akan ditumpanginya ke Nigeria itu.

Maka kepergiannya itu pun sempat ditunda dua hari. Entah sebab apa ia tertunda kepergiannya, Fachry tak menceritakannya. Jangan-jangan di ketiduran? ha ha ha



Dan benar, ketika sampai ke Baku dia kirim gambar bila sudah berada di bandara Nigeria. Ada foto bergambar bandara di Baku yang memaki model arsitektur bangunan lengkung. Fahcry terlihat ceria. Dia menulis begini sembari berpose di sebuah sabana luas di Negeria.

Tak lupa dia mengutip sajak klasik Taufiq Ismail yang ketika melihat sabana di Monggolia: Ketika melihat luas padang sabana saya teringat Umbu! (Umbu Landu Paranggi, penyair asal NTT yang menjadi guru Emha Ainun Nadjib,red).

photo

  • Keterangan foto: Fachry di savanah pedalaman Nigeria

Dan terakhir saya makin terkejut ketika menerima postingan terakhrnya pagi ini  di media sosial yang berkabar dan menunjukan tengah berada di Inggris. Tak hanya itu yang membuat saya semakin kaget ketika 'nongol' gambar dia tengah berada di makam Karl Marx yang memang berada di London itu.



Namun, kali ini Fachry menulis sebuah renungan yang bernas. Dia bercerita mengenai perasaan dan pikirannya soal sosok bapak ideologi Komunis itu. Sosok yang dipuja begitu banyak orang. Sosok yang melahirkan berbagai revolusi dan gejolak sosial, setidaknya dalam 150 ratus tahun terakhir.

photo

  • Keterangan foto: Fachry Ali di depan kompleks makam Karl Marx di London.

Fachry menulis begini untuk mengenangkan soal Marx ketika masih kuliah di Universitas Monash, Australia: 

‘Which Marx,’ kata Ariel Heryanto (peneliti sosial yang kini tinggal di Australia), yang tiba-tiba masuk dan membuat pembicaraan ahli politik Indonesia. Kala itu William Liddle dari Ohio State University  yang tengah berbicara terhenti sejenak.

Liddle menjadi pembicara informal dlm acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di Monash University, Clayton, Melbourne —yg berlangsung di rumah Bu Tuti pada awal 1990-an. 

Liddle yang menginap di rumah saya, dalam pembicaraan itu ‘mengeritik pandangan Marx. Inilah yg mendorong Ariel, yang sebelumnya hanya berada di luar, memberikan reaksi.

Liddle terkejut dan dengan spontan seraya menyapa dan berkata: ‘Hai Ariel.’ 

Fachry kemudian melanjutkan tulisannya:

Nah sore  ini, 5 Juli 2019, saya terlambat datang mengunjungi makam Karl Marx di London. Dia dimakamkan dipusat kapitalisme dunia abad ke-18 dan 19  yakni kota London, Marx ternyata masih menyihir manusia di abad ke-21. Di depan kompleks pemakamannya, tertulis program tur ke kuburannya.

Maka, di sore hari yang cerah itu, saya hanya bisa berfoto di pintu gerbang makam yg telah tutup itu. Juga, saya kira, Marx tak perlu kiriman al-Fatihah dari saya. Juga dari siapa pun!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement