Kamis 09 Jul 2020 15:59 WIB

Redenominasi tak Bisa Dilakukan Hingga 2024

Diperlukan kestabilan nilai tukar dan fundamental ekonomi yang kuat saat redenominasi

Rep: Puti Almas/Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Pemerintah berencana melakukan redenominasi rupiah. Mata uang nasional akan disederhanakan dengan mengurangi jumlah nol tanpa mengurangi nilanya seperti uang Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Foto: Thoudy Badai/Republika
Pemerintah berencana melakukan redenominasi rupiah. Mata uang nasional akan disederhanakan dengan mengurangi jumlah nol tanpa mengurangi nilanya seperti uang Rp 1.000 menjadi Rp 1.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana melakukan redenominasi rupiah. Mata uang nasional akan disederhanakan dengan mengurangi jumlah nol tanpa mengurangi nilanya seperti uang Rp 1.000 menjadi Rp 1.

Pengamat ekonomi dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adinegara mengatakan redenominasi Rupiah saat ini sangat tidak tepat dilakukan. Bahkan, ia menyebut kemungkinan akan hal itu hingga 2024. 

Baca Juga

Menurut Bhima, situasi di Indonesia dapat dikatakan sedang dan belum dapat dipastikan kapan pertumbuhan ekonomi dapat kembali mencapai 5 persen. Ia mengatakan ada tiga syarat utama sebelum dilakukannya redenominasi mata uang oleh sebuah negara, yaitu pertama adalah nilai tukar stabil, kedua inflasi yang terkendali, dan ketiga fundamental ekonomi harus dalam kondisi baik. 

“Sebelum melakukan redenominasi ada prasyarat stabilitas ekonomi yang diprioritaskan,” ujar Bhima kepada Republika.co.id pada Kamis (9/7). 

Bhima mengatakan bahwa pertimbangan utama dari redenominasi adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi karena perubahan nominal uang dapat mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan harga. 

Sebagai contoh, harga barang sebelum redenominasi adalah Rp 9.200. Namun, setelah redenominasi, harga tersebut tidak mungkin  menjadi Rp 9,5. Karena itu, menurut Bhima, sebagian besar harga justru akan dijadikan Rp 10. Ini terjadi sebagai pembulatan nominal baru ke atas yang membuat harga barang akan naik signifikan. 

“Ini sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI (Bank Indonesia), akibatnya inflasi besar-besaran bahkan bisa mengakibatkan krisis kalau tidak hati-hati,” jelas Bhima. 

Lebih lanjut, Bhima menilai dalam momentum pemulihan ekonomi seperti saat ini, sebaiknya jangan ada kebijakan yang kontraproduktif. Ia menyebut penyesuaian terhadap nominal baru akan mempengaruhi administrasi dan akuntansi puluhan juta perusahaan di Indonesia. 

“UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) saja ada 62 juta unit usaha. Alih-alih mau pemulihan ekonomi, mereka sibuk mengatur soal nominal harga di barang yang dijual, bahan baku bahkan administrasi perpajakan,” kata Bhima menambahkan.

Bhima mengatakan momentum redenominasi di Indonesia perlu dikaji secara serius. Ia menyarankan agar tidak terburu-buru dalam ini dan pembahasan tentang redenominasi kembali dimulai saat ketika kondisi ekonomi negara telah stabil, termasuk dalam inflasi stabil, kurs yang juga tidak fluktuatif berlebihan, hingga pertumbuhan ekonomi bisa dijaga di atas 6 persen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement