Jumat 10 Jul 2020 00:36 WIB

Pemukiman Padat Harus Siap Hadapi Pandemi Covid-19

Pemukiman Padat Harus Siap Hadapi Pandemi Covid-19.

Webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan The HUD Institute pada Kamis (9/7).
Foto: Dok. Pri
Webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan The HUD Institute pada Kamis (9/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan The HUD Institute

pada Kamis (9/7) diketahui jika Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai negara dengan penduduk perkotaan tertinggi. Saat ini lebih dari setengah (55%) populasi Indonesia hidup di perkotaan. 

Praktisi Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dodo Julliman P mengatakan, di tahun 2045 mendatang diperkirakan bahwa populasi penduduk perkotaan akan meningkat 63,8 juta dari tahun 2015 dimana 67,1%-nya tinggal diperkotaan. Dibandingkan negara-negara dengan penduduk perkotaan terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai negara dengan penduduk perkotaan tertinggi.

Perkembangan penduduk perkotaan yang cepat di lahan yang semakin terbatas berimplikasi pada urgensi sistem penyediaan perumahan yang tepat. Pada kenyataannya kota-kota di Indonesia memiliki kapasitas terbatas dalam penyediaan pelayanan infrastruktur dasar dan perumahan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Menurut hasil pengolahan Susenas Tahun 2019, saat ini terdapat 15,5 juta (38,9%) rumah tangga perkotaan yang tinggal

di unit rumah dengan kondisi dibawah standar yang mayoritas disebabkan oleh kondisi air bersih dan sanitasi. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, terbatasnya lahan perkotaan untuk perumahan dan harga lahan serta rumah yang meningkat tajam telah membatasi ketersediaan rumah yang terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah.

"Faktor-faktor ini menjelaskan pesatnya pertumbuhan kawasan kumuh berpenduduk padat di kota-kota besar Indonesia. Masyarakat permukiman kumuh sendiri memiliki resiko kesehatan yang cukup besar disebabkan oleh kondisi layanan infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi yang tidak memadai," kata dia.

 

Hasil kajian 

Praktisi Pembangunan Perumahan dan Permukiman Ade Armansjah mengatakan, Economic Impact of Sanitation in Indonesia Tahun 2008 menunjukan bahwa kondisi sanitasi yang buruk (termasuk rendahnya penerapan PHBS) menyebabkan setidaknya 120 juta kasus diare dan 50.000 kematian bayi premature setiap tahunnya. Kondisi sanitasi yang buruk juga menyebabkan rendahnya kualitas air minum sehingga warga di permukiman kumuh setidaknya harus membayar berkali-kali lipat lebih mahal untuk air bersih dibandingkan warga permukiman layak.

"Kepadatan bangunan dan penduduk serta kondisi ventilasi rumah yang tidak sehat juga menyebabkan resiko penyebaran wabah penyakit menjadi semakin besar. Dalam kasus di DKI Jakarta sebagai pusat metropolitan dimana banyak terdapat permukiman padat penduduk hal ini yang menjadikan penyebaran wabah merupakan salah satu dari tiga guncangan terbesar yang mengancam ketahanan Jakarta," papar dia.

Pakar Etnografi Amalia E. Maulana mengatakan, saat ini kota-kota di hampir seluruh dunia, termasuk di Indonesia nyatanya sedang menghadapi pandemi Covid-19 sejak bulan Maret 2020. Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan penduduk di Indonesia. 

Dalam menghadapi Covid-19, Presiden RI Joko Widodo menegaskan bahwa kebijakan untuk beraktivitas produktif seperti bekerja, sekolah, dan beribadah harus dilakukan dirumah untuk menekan penyebaran virus corona atau penyakit. Namun nyatanya, tidak semua dapat melaksanakan hal tersebut. 

"Berdasarkan keterangan UN Habitat dalam dokumen Policy and Programmatic 

Framework Covid-19, Permukiman informal dan kumuh termasuk yang paling rentan terhadap bahaya penyebaran virus karena kepadatannya yang tinggi, rendahnya akses ke air minum dan sanitasi layak layanan kesehatan. Mayoritas penduduk juga merupakan pekerja harian atau informal yang tidak memungkinkan mereka bekerja dari rumah," paparnya.

Dia melanjutkan, jika pekerjaan mereka terganggu karena pandemi, maka keberlangsungan keamanan pangan disana pun semakin rentan. Selain itu, karakteristik penduduk yang merupakan pekerjan harian dan informal membuat mayoritas tidak memilki financial buffer. 

Di era pandemi Covid-19 ini, kata dia, penyebaran wabah penyakit di permukiman padat penduduk seakan menjadi bom waktu yang sangat mengancam ketahanan kota. Kota-kota dengan permukiman kumuh terpadat seperti Mumbai, India sedang berjuang menghadapi hal ini. 

"Meskipun belum ada laporan mengenai peningkatan penyebaran wabah di permukiman kumuh padat penduduk di Indonesia, namun adanya Covid-19 menjadi pengingat bagi kita mengenai urgensi penyediaan rumah dan permukiman layak huni, apalagi masih terhadap 15,5 juta rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni," ujarnya.

Berdasarkan hal itu Kementerian PPN/Bappenas bersama The HUD Institute telah melaksanakan diskusi penanganan kawasan permukiman kumuh perkotaan pasca pandemi covid-19 dalam rangka mempengaruhi (influencing) kebijakan sektor perumahan rakyat, permukiman dan pembangunan perkotaan yang tanggap terhadap kebutuhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement