Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salman

Adu Logika Nabi Ibrahim Depan Penguasa

Agama | Friday, 30 Jul 2021, 19:28 WIB

“Ideologi”, “idea” dan “logos.” Khazanah ‘Ilmu’ tentang gagasan. Konstruksi nilai substansial pemikiran yang terikat dalam prinsip keyakinan. Tiada seorang pun yang tidak punya ideologi, termasuk mereka yang tidak paham akan makna ideologi itu sendiri. Dalam keberagamaan, ideologi sangat dekat dengan “teologi”. Bahkan teologi adalah salah satu instrumen yang bisa membentuk ideologi.

Kiprah sadar seseorang selalu merupakan buah ideologinya. Sesederhana apapun. Selanjutnya, ideologi tidak hanya menjadi kemasan nilai diri seseorang, tapi bahkan menjadi “prime mover” (penggerak utama) dalam mengembangkan aneka program kehidupannya. Dalam kaitan ini, mudah dipahami mengapa Namrudz membangun “Monumen Kemusyrikan Nasional” di pusat kota Babilonia. Karena itu adalah simbiosis koeksistensi Namrudz dan kekuasaannya. Kristalisasi ideologi Raja yang memanfaatkan fasilitas negara.

Monumen yang berisi aneka ragam patung berhala dihadirkan layaknya mega prasasti nasional. Lalu diperkenalkan sebagai legenda yang dibanggakan. Katanya proud of nation. Padahal proud of Namrudz dalam balutan kedok “Proud of the King (Kebanggaan Raja)” yang pembangunannya mengeksploitasi sumberdaya negara.

Is there any problem? Tentu tidak, karena baik pegawai pemerintahan maupun investor swasta bersikap sama: mendukung ideologi negara. Artinya, mereka merespons sangat proaktif upaya pemusyrikan yang terstruktur, sistemstis, dan masif. Termasuk ayah atau paman Ibrahim a.s. sendiri.

Lantas, bagaimana kemerdekaan beragama? Khususnya bagi rakyat yang masih tegar dengan obyektivitas independensinya? Itulah yang diperjuangkan Ibrahim a.s. Bagaimana mungkin hal itu dibiarkan. Sementara kalangan terbatas ini tidak terwakili di parlemen, yang dikelola dengan Koalisi Besar Kemusyrikan. Setiap produk legislasi pasti pro-Kemusyrikan, dan mendukung penyembahan berhala. Patung adalah ornamen istimewanya. Monumen yang merupakan indikator kematian akal sehat dan bersenyawa dengan oportunisme pada kekuasaan yang pragmatis.

Setidaknya, Al Qur'an merekam nuansa kontekstualnya dalam 17 ayat berantai. Surah Al Anbiya (21): 51-67. Skenario intinya terdapat pada dua ayat berikut:

"Mereka bertanya, "Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap Tuhan-Tuhan kami, wahai Ibrahim? Dia (Ibrahim) menjawab, "Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara.""

(QS. Al-Anbiya 21:62-63).

Setelah melakukan survei dengan cermat, Ibrahim a.s. bertindak strategis. Ketika Satpam penjaga Monumen Syirik itu istrahat, maka Ibrahim a.s. pun segera masuk ke dalamnya. Semua patung dihancurkan kecuali satu. Disisakan yang terbesar, yang di tangannya kapak penghancur diletakkan dengan apik. Kemudian Ibrahim a.s. segera keluar meninggalkan monumen. Ternyata Ibrahim a.s. berpapasan dengan Satpam. Tepatnya, pada titik dari mana puing aneka ragam patung yang telah dihancurkan itu masih terlihat dengan jelas secara saksama.

Satpam langsung terkesiap sambil menunjuk Ibrahim a.s.: "Kamukah yang menghancurkan patung-patung kami?".

"Apakah anda punya bukti?

"Jadi, siapa yang melakukannya?".

"Ya, coba perhatikan kapaknya berada di mana?".

Spontan, Satpam terperangah, dan bergumam: "Bagaimana mungkin patung bisa menghancurkan sesamanya?". "Lah, kalau begitu, kenapa kalian sembah?"

Begitulah komunikasi antar personal dua insan itu. Hampir terkesan adu mulut, antara penjaga istana patung dan pengawal Tauhid Semesta Alam. Simbol representasi kuasa negara oportunis versus manusia mulia pemelihara martabat kehidupan. Kecerdasan Ibrahim a.s. sangat mewarnai peristiwa historis itu. Pertama, dia membuka jebakan dengan “jurus legalitas yudisial: the presumption of innocence (azas praduga tak bersalah).” Seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum dibuktikan di pengadilan. Ini pun berlaku di Babilonia saat itu. Kedua, narasi digiring oleh Ibrahim a.s. ke muara akal sehat. Begitu Satpam terdesak dengan tuntutan balik Ibrahim a.s., maka iapun harus menunjukkan kenaifan dirinya sendiri. Menyembah sesuatu yang sangat tidak pantas. Andalan negara abai martabat. Sinergi oportunisme kekuasaan dengan pemimpin beridelogi buta.

Ibrahim a.s. menjadi lokomotif perjuangan hak rakyat sebagai pemilik sah negara. Warga negara memiliki hak azasi, termasuk hak untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Terutama yang tidak setuju setoran pajaknya digunakan untuk membiayai pembangunan Istana Syirik Nasional. Apalagi untuk menggaji personalia Badan Pengembangan Ideologi Kemusyrikan (BPIK), sayap ideologi Sang Raja yang akal sehatnya telah pensiun dini.

Ibrahim a.s. menyemai inspirasi Tauhid. Bahwa "Kalimat Thayyibah : Laa Ilaaha Illallaah" tidak bisa hanya bersemayam dalam Kitab Suci. Juga tidak cukup sebagai penghuni Kitab Tafsir “magnum opus” para Ulama berkualitas. Namun, lebih dari itu, makna Tauhid harus mengejawantah dalam kehidupan nyata. Karena itu, harus selalu diperjuangkan, walau dalam tirani rezim syirik sekalipun. Aplikasi klausul hukum positif terkadang menjadi keharusan. Terutama ketika pengenalan akidah yang benar membutuhkan strategi “advokasi” dan “law enforcement” (pendampingan dan penegakan hukum).

Sampai di sini kian mencengangkan. Ternyata Ibrahim a.s. bukan hanya tokoh masyarakat, sosok peduli keluarga, dan filosof ulung, tetapi juga praktisi hukum yang menguasai strategi advokasi untuk pemberdayaan rakyat. Ideolog sejati yang diutus Tuhan untuk menancapkan prinsip dasar peradaban tercerahkan. Dalam cuplikan sejarah di atas, Ibrahim a.s. melakukan advokasi berwajah dua dimensi. Yakni, Advokasi Akidah berbasis Hak Azasi Manusia (HAM). Kisah ini adalah penyegaran reaktualisasi peran Ibrahim a.s. di setiap koordinat ruang - waktu. Di setiap kawasan dan zaman (fii kulli makan wakulli zaman). Kebutuhan akan sosok Ibrahim terasa kian urgen. Terutama untuk memandu advokasi akidah pada setiap jenjang. Baik pada tingkat lokal, regional, maupun global. Minimal menginisiasi “Satgas Peradaban” melalui adu logika depan penguasa .

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image