Ahad 29 May 2022 00:15 WIB

ICW Ungkap Dana Bantuan Pesantren Dipotong Oknum Partai

Ada broker yang menerima imbalan karena mengaku memperlancar pencairan bantuan.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ilham Tirta
Peneliti ICW Lalola Easter.
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti ICW Lalola Easter.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap adanya berbagai bentuk potongan oleh pihak ketiga dalam dana Program Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) untuk Pondok Pesantren (Ponpes) Kementerian Agama (Kemenag). ICW menyebut ada broker, baik atas nama perwakilan partai politik tertentu, organisasi keagamaan tertentu, atau forum-forum masyarakat lainnya, yang menerima imbalan karena telah memperlancar pencairan bantuan.

"Potongan 40 persen hingga 50 persen dikenakan atas total bantuan yang diterima ponpes (pondok pesantren) oleh para makelar ini," ujar Koordinator Divisi Hukum ICW, Lalola Easter dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (27/5/2022).

Baca Juga

Temuan tersebut berdasarkan pemantauan ICW yang didukung oleh mitra lokal di Aceh, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Lalola mengatakan, sistem distribusi bantuan pemerintah selalu dibayang-bayangi birokrasi informal.

Birokrasi informal menempatkan diri sebagai middle-man alias broker. Peran mereka seakan-akan mulia, yakni memperlancar administrasi agar bantuan segera dapat dicairkan.

Namun, sokongan untuk menyusun proposal kebutuhan serta bantuan untuk menyiapkan administrasi dan persyaratan lainnya bukan sesuatu yang gratis. Potongan 40-50 persen dikenakan atas total bantuan yang diterima ponpes oleh para makelar ini.

Menurut Lalola, pengurus ponpes yang nir-informasi dan minim kapasitas administrasi sudah pasti menjadi korban. Tak ayal, banyak ponpes tertimpa masalah ganda, yaitu pandemi yang membuat mereka sulit beroperasi dan bayang-bayang potongan ilegal atas bantuan yang mereka terima.

Selain itu, kata dia, bansos semacam ini juga menjadi sasaran empuk untuk dipolitisasi. Para pejabat dan penguasa lokal dengan mudahnya menjadi penyalur resmi BOP ponpes, yang semestinya berlabel BOP Kemenag.

"Taktiknya sederhana, para pengelola ponpes yang akan menerima bantuan diundang di forum resmi, dan bantuan itu diserah-terimakan oleh pejabat politik lokal atau anggota DPR RI yang berasal dari dapil tersebut," kata dia.

Dia melanjutkan, praktik semacam ini dapat dikatakan sebagai manipulasi fakta yang disengaja untuk membangun persepsi bahwa bantuan itu ada kaitannya atau bersumber dari para penyalurnya di tingkat lokal. Padahal, bantuan tersebut pada dasarnya berasal dari pemerintah melalui Kemenag.

ICW menilai, berbagai temuan potensi penyimpangan, potongan ilegal, dan politisasi menyiratkan persoalan birokrasi yang telah berurat akar. Pondok pesantren hanya satu dari sekian banyak institusi pendidikan yang babak belur, bukan hanya oleh pandemi, melainkan juga korupsi yang menggurita.

Lalola menjelaskan, salah satu faktor yang paling menonjol dan memicu masalah klasik korupsi adalah kacaunya pendataan ponpes yang dilakukan oleh Kemenag. Misalnya, data pesantren yang tidak akurat (by name by address), klasifikasi pesantren penerima bantuan yang tidak cocok dengan profil di lapangan, pesantren dengan nama dan alamat ganda, dan pesantren fiktif, yakni pesantren yang terdata tapi faktanya mereka tidak beroperasi selayaknya pesantren, atau bahkan tidak ada sama sekali.

"Pendataan yang ala kadarnya dan menjurus ke pengelolaan data yang buruk ikut memicu berbagai praktek penyimpangan dalam penyalurannya," kata dia.

Adapun jumlah bantuan yang diterima masing-masing pesantren sesuai dengan kategorinya adalah pesantren kategori kecil mendapatkan Rp 25 juta, pesantren kategori sedang mendapatkan Rp 40 juta, dan pesantren kategori besar mendapatkan Rp 50 juta.

Berdasarkan Juknis dan keterangan wakil

Menteri Agama, Zainut Tauhid mengatakan, bantuan tersebut disalurkan secara langsung oleh Kemenag ke pesantren dan diterima seutuhnya oleh pengasuh pondok pesantren. Pada Januari 2021 lalu, Kemenag menyampaikan, realisasi penyaluran BOP sudah mencapai Rp 2,22 triliun atau 85 persen.

Sebagaimana disampaikan Inspektur Jenderal Kemenag, Deni Suardini, pada saat rapat bersama Komis VIII DPR RI pada September 2020 lalu, pihaknya mengakui terdapat penyimpangan penyaluran dana BOP.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement