MUI Minta MK Tolak Gugatan Pernikahan Beda Agama

Perkawinan tidak hanya menyoal hukum keperdataan tetapi juga hukum agama.

Republika
Suasana sidang putusan gugatan nikah beda agama di MK.
Rep: Mimi Kartika Red: Ilham Tirta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. MUI berpendapat, perkawinan tidak hanya menyoal hukum keperdataan, tetapi juga hukum agama.

"Justru MUI berpandangan seharusnya bangsa Indonesia menghormati perjuangan pendahulu negara dalam membahas UU Perkawinan ini, yang pada saat penyusunannya sampai nyaris menimbulkan perpecahan negara," ujar Wakil Ketua Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI, Syaeful Anwar dalam persidangan yang digelar pada Rabu (15/6/2022).

MUI menjadi pihak terkait dalam perkara nomor 24/PUU-XX/2022 yang diajukan E Ramos Petege. Menurut MUI, ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan ialah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, telah mendapatkan authoritative sources yang kuat, yaitu berdasarkan Alinea Ketiga dan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, dan 20 Pasal 29 ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945.

Karena itu, MUI memohon agar MK berkenan memeriksa dan memutus dengan amar putusan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Dia menjelaskan, perkawinan beda agama sebagaimana keinginan dari pemohon akan membuat bangsa Indonesia kembali pada masa kolonial karena perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama.

Selain itu, sehubungan dengan isu hak asasi manusia (HAM) dalam hukum perkawinan yang dipersoalkan pemohon, maka MUI melihat Indonesia bukan penganut HAM yang sebebas-bebasnya. Syaeful mengatakan, kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan HAM MUI, Arovah Windiani menyebutkan, sebagai suatu badan hukum yang diakui secara sah, MUI berfungsi sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam, negara, dan pemerintah. Dengan demikian, kata dia, MUI berperan sebagai pelayan umat dan mitra pemerintah dalam menjaga umat untuk penguatan negara.

"Karena itu, MUI merupakan wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama. Oleh karenanya, permohonan ini jelas akan berpengaruh pada tugas pokok dan fungsi serta peran MUI," kata Arovah.

Dalam pandangan MUI, keinginan perkawinan beda agama sebagaimana didalilkan pemohon dalam perkara ini merupakan kerugian yang bersifat potensial. Menurut MUI, pemohon pada dasarnya tidak menyadari ketentuan dari perundang-undangan yang ada.

Sebab dalil “hendak melakukan perkawinan”, berarti perkawinan yang dimaksud belum terjadi. Sehingga MUI mempertanyakan perkawinan tersebut yang seharusnya dapat dibatalkan dan menilai alasan pemohon adalah mengada-ada.

"Sementara adanya dalil HAM dan kebebasan beragama, MUI berpendapat alasan tersebut juga hanyalah bersifat potensial. Untuk itu, permohonan yang diajukan ini tidak memenuhi Peraturan MK sehingga MUI selaku Pihak Terkait memohon agar MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," jelas Arovah.

Selanjutnya, Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI, Helmi Al Djufri menyatakan, negara mengatur ketentuan mengenai perkawinan semata-mata untuk menghormati hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing umat beragama di Indonesia. Perkawinan sejatinya wadah pertama dalam pembentukan keluarga, sehingga negara berperan menghormati hal tersebut.

MUI berpandangan, pemohon keliru apabila menyatakan negara menghambat keinginan HAM pemohon dengan tidak mengakui perkawinan beda agama. Sebaliknya, Helmi mengatakan, hal tersebut akan memunculkan dan menyebabkan terjadinya perkawinan beda agama secara masif di Indonesia yang mengesampingkan kesakralan hukum agama dari setiap agama yang ada di negara ini.

"Secara hukum di Indonesia, agama pun berperan dalam membentuk perundang-undangan, maka sangat kontradiktif jika ajaran agama dibebaskan untuk mengesampingkan sakralitas ajaran agama. Sementara eksistensi MK adalah sebagai penjaga ideologi. Maka argumentasi pemohon yang meminta pengesahan perkawinan beda agama ini, membuka peluang penyelundupan hukum bagi calon mempelai. Jadi, dalil ini bukan persoalan konstitusionalitas norma," jelas Helmi.


Baca Juga

 
Berita Terpopuler