Ahad 14 Aug 2022 05:21 WIB

Ekonom UGM Usul Naikkan Harga Pertalite dan Turunkan Harga Pertamax

Selisih harga Pertalite dan Pertamax yang tipis dinilai bisa menahan kuota subsidi

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Kendaraan mengantre saat mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU di Jakarta, Kamis (11/8/2022). Antrean tersebut terjadi imbas dari ketersediaan BBM jenis Pertalite yang kosong dibeberapa SPBU di kawasan Jakarta. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kendaraan mengantre saat mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU di Jakarta, Kamis (11/8/2022). Antrean tersebut terjadi imbas dari ketersediaan BBM jenis Pertalite yang kosong dibeberapa SPBU di kawasan Jakarta. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ahli ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengusulkan agar Pertamina menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax untuk mempersempit disparitas harga antara kedua jenis BBM tersebut.

"Dengan menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax secara bersamaan maksimal selisih harga sebesar Rp 1.500 per liter. Kebijakan harga ini diharapkan akan mendorong konsumen Pertalite migrasi ke Pertamax secara suka rela," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Sabtu (13/8/2022).

Baca Juga

Komunikasi publik secara masif, kata Fahmy, perlu dilakukan mengenai penggunaan Pertamax yang lebih bagus untuk mesin kendaraan dan lebih irit. Sosialisasi ini diperlukan untuk menarik minat masyarakat agar beralih dari mengonsumsi Pertalite ke Pertamax.

Sampai Juli 2022, Pertamina melaporkan konsumsi bahan bakar minyak jenis Pertalite telah menembus angka 16,8 juta kiloliter atau setara dengan 73,04 persen dari total kuota yang ditetapkan tahun ini sebesar 23 juta kiloliter. Angka konsumsi yang tinggi itu membuat kuota Pertalite hanya tersisa 6,2 juta kiloliter.

Jika upaya pembatasan konsumsi Pertalite tidak berhasil, maka kuota BBM subsidi diproyeksikan jebol paling lama pada akhir Oktober 2022. Kondisi itu menimbulkan dilema bagi pemerintah yang dalam hal ini adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai bendahara negara. Jika kuota Pertalite ditambah maka akan meningkatkan beban APBN untuk subsidi menjadi lebih dari Rp 600 triliun.

Namun, jika kuota Pertalite tidak ditambah maka kondisi itu bisa memicu kelangkaan BBM di berbagai SPBU yang berpotensi menyulut keresahan sosial. Menteri ESDM Arifin Tasrif sejauh ini hanya bisa mengimbau agar orang kaya tidak menggunakan BBM subsidi. Ia beralasan konsumen adalah makhluk rasional yang mempunyai price elasticity. Mereka akan tetap mengonsumsi BBM dengan harga lebih murah selama belum ada larangan.

"Arifin melupakan tabung elpiji tiga kilogram tertulis 'hanya untuk orang miskin', faktanya lebih 60 persen konsumen yang bukan miskin tetap mengonsumsi gas melon karena distribusi terbuka," ucap Fahmy.

Selain memperkecil disparitas harga antara Pertalite dan Pertamax, Fahmi mengusulkan pemerintah harus menetapkan segera Peraturan Presiden yang menegaskan Pertalite dan Solar hanya untuk sepeda motor dan kendaraan angkutan orang serta angkutan barang untuk mencegah kuota BBM bersubsidi agar tak jebol. Menurutnya, pembatasan yang tegas dan lugas dapat mencegah jebolnya kuota BBM subsidi tersebut.

Fahmy menilai platform MyPertamina tidak akan berhasil membatasi BBM subsidi agar tepat sasaran. Paltform itu bahkan dinilai dapat menimbulkan ketidaktepatan sasaran dan ketidakadilan bagi konsumen yang tidak punya akses.

"Untuk mencegah jebolnya kuota BBM bersubsidi tidak bisa hanya dengan mengeluh dan mengimbau saja. Namun, perlu kebijakan tegas dan lugas yang segera diberlakukan," pungkas Fahmy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement