Konflik Rohingya dan Kepentingan Bisnis Migas Cina
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kontributor Forbes, Anders Corr, pernah membuat artikel yang dimuat di rubrik opini pada 31 Desember 2016 yang lalu. Anders yang sempat bekerja sebagai intelijen militer selama lima tahun ini dalam artikelnya menuliskan keterkaitan antara konflik yang terjadi di Rakhine, Myanmar, dan kepentingan bisnis Cina.
Dalam paparan awal, Anders menjelaskan kondisi para Muslim Rohingya yang mendapat serangan militer dari tentara Myanmar. Tak hanya serangan militer, tapi juga pemerkosaan dan pembunuhan. Akibatnya, 43 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari Rakhine. Anders mengakui, memang ada pelanggaran HAM terhadap Muslim Rohingya oleh militer Myanmar. Namun, tekanan diplomatik terhadap Myanmar lemah sehingga tragedi kemanusiaan itu masih terjadi.
Menurut Anders, Cina adalah sekutu terdekat Myanmar. Negeri Tirai Bambu ini punya pengaruh besar dan kegiatan bisnis yang luar biasa di negara bagian Rakhine, Myanmar. Cina punya tanggung jawab yang besar atas persetujuan internasional secara diam-diam terhadap pelanggaran HAM Myanmar. "Cina seharusnya mengubah sikap Myanmar terhadap Rohingya, tapi belum dilakukan," tulis Anders dalam artikelnya.
Dalam artikel itu, Anders mengutip perkataan seorang diplomat Asia yang ia wawancarai untuk kepentingan penulisan artikel tersebut. Diplomat itu mengatakan Cina memang secara diam-diam menyetujui adanya pelanggaran HAM di Rakhine sehingga tidak memberikan sinyal untuk memengaruhi apa yang dilakukan Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Hal ini dilakukan Cina sekaligus untuk menolak HAM Amerika Serikat yang bisa memengaruhi negara-negara Asia secara signifikan.
Lagi pula, sebagian besar Cina, tulis Anders, menentang gagasan tentang HAM universal. Di Myanmar sendiri, Cina punya kepentingan bisnis yang strategis. Bagaimana tidak, sejumlah perusahaan migas Cina saat ini sedang berkegiatan di wilayah lepas pantai (offshore) Negara Bagian Rakhine. Perusahaan tersebut adalah China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan PetroChina, serta China National Petroleum Corporation (CNPC).
"Diamnya Cina kemungkinan karena disebabkan adanya kepentingan bisnis di Rakhine, diamnya mereka secara diplomatis berarti mendukung Myanmar dalam isu Rohingya," tulis Anders.
Sumber Anders itu mengatakan, Cina dan sebagian besar negara ASEAN telah mengabaikan krisis Rohingya. Secara implisit, negara-negara itu mendukung Myanmar secara tidak langsung. Negara-negara tersebut tidak ingin memberikan sinyal yang menunjukan kesan ikut campur pada masalah HAM di Myanmar. Cina juga menilai, tulis Anders, menaikkan isu pelanggaran HAM Myanmar justru akan meninggikan pengaruh Amerika di Asia.
Dalam penjelasan Anders, dipaparkan bahwa Cina dan sebagian besar negara ASEAN sebetulnya juga mempunyai kelompok minoritas tersendiri yang mendapat diskriminasi atau, bahkan lebih buruk lagi. Anders, mengutip omongan dari sumber itu, menuliskan kelompok minoritas yang diperlakukan secara tak adil di Cina, berada di Xinjiang dan Tibet. Karena itu, pemberian preseden terhadap isu Rohingya ini dihindari untuk melidungi kebijakan Cina di dua wilayah tersebut.
"Sedangkan, untuk orang-orang keturunan Tionghoa di Kachin dan Shan (di Myanmar), Cina mungkin dengan tenang mengatakan ke Myanmar bahwa mereka ingin orang-orang keturunan Tionghoa diperlakukan dengan baik. Pada saat bersamaan, Cina punya cara pendekatan yang berbeda sama sekali terhadap Rohingya," tulis Anders.