Clock Magic Wand Quran Compass Menu

Jalan Panjang Konsolidasi Umat Islam Indonesia

Red:

Sejak zaman penjajahan Belanda, konsolidasi kekuatan umat Islam Indonesia telah menghasilkan tonggak-tonggak penting bagi kemajuan bangsa. Misalnya, kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905.

Sponsored
Sponsored Ads

Pada awal berdirinya, SDI bertujuan melindungi potensi ekonomi umat Islam Indonesia. Bahkan, ahli sejarah, McTurnan Kahin, menyebut SDI yang selanjutnya meluas menjadi Sarekat Islam (SI) sebagai pelopor kebangkitan nasionalisme di Indonesia.

Scroll untuk membaca

Namun, wadah SI saja ternyata tidak cukup mempersatukan kekuatan umat Islam di Indonesia. Sebab, terdapat banyak organisasi masyarakat (ormas) Islam lain, baik yang berpandangan modernis maupun tradisionalis. Karena itu, dibutuhkan suatu forum perumusan agenda konsolidasi kekuatan umat Islam di Indonesia yang majemuk.

Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) merupakan forum puncak konsolidasi itu. Pada hakikatnya, KUII lahir sebagai wadah perumusan strategi bersama umat Islam Indonesia dalam menghadapi persoalan di semua lini kehidupan.

Menurut Azyumardi Azra dalam "Kongres Umat Islam: Sebuah Pengantar", KUII pertama prakemerdekaan Indonesia menggunakan nama "Kongres al-Islam Hindia Kesatu".  Kongres yang digagas SI tersebut diselenggarakan di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Dalam pandangan Azyumardi, Kongres di Cirebon itu menghadapkan kalangan tradisionalis dengan modernis Islam.

Selanjutnya, KUII diadakan di Garut pada Mei 1924. Pada tahun yang sama, sistem khilafah Islam di Turki resmi dihapus dan digantikan oleh sistem sekuler. Terkait hal itu, KUII yang digelar pada masa itu fokus membahas kondisi umat Islam pascaruntuhnya khilafah Turki. Dalam sebuah pidatonya, Haji Agus Salim mengatakan, kesatuan umat Islam ikut rusak dengan runtuhnya khilafah Islam.

Nuansa friksi antara kalangan modernis dan tradisionalis Islam kembali menguat dalam KUII selanjutnya di Yogyakarta, 21-27 Agustus 1925. KH Wahab Chasbullah, misalnya, mengusulkan agar kongres mengirimkan delegasi ke Ibnu Saud di Hijaz untuk meminta jaminan atas praktik Islam tradisional menyusul lunturnya pengaruh Khilafah Turki. Usulan ini tentu berseberangan dengan kalangan modernis. Akhirnya, kalangan tradisionalis membentuk Komite Hijaz di Surabaya pada 31 Januari 1926. Dari sana, lahir ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU).

Bagaimanapun, terbentuknya Majelis Islam A'laa Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937 menerbitkan harapan baru mengenai konsolidasi kekuatan Islam, baik modernis maupun tradisionalis. Hasilnya, KUII kembali terselenggara pada 26 Februari-1 Maret 1938 di Surabaya. Bagi NU, seperti ditulis Azyumardi, KUII kali ini merupakan babak baru sejarah persatuan Muslim Indonesia yang lepas dari friksi modernis-tradisionalis. Maka, mencuatlah isu bersama, bagaimana menyusun kekuatan umat Islam menghadapi kolonialisme Belanda.

Selepas KUII 1937, para pemuka Muslim Indonesia kian siap. Apalagi, posisi Belanda makin lemah memasuki Perang Dunia II. Begitu Jepang menduduki Indonesia, tepatnya pada 1943, MIAI pun berkembang menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, KUII berikutnya diselenggarakan di Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Inilah KUII pertama sejak Indonesia merdeka. Kongres ini membuat tonggak sejarah penting setelah lahirnya MIAI dahulu. Yakni, menjadikan Masyumi sebagai  satu-satunya partai politik (parpol) bagi umat Islam Indonesia. Partai politik ini berbeda sama sekali dari Masyumi pada era pendudukan Jepang.

Seperti dikatakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, KUII kedua bernama Kongres Muslimin Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 1949 dan dihadiri sebanyak 185 organisasi alim ulama serta cendekiawan dari seluruh Indonesia. Hasil penting dari KUII 1949 adalah disepakatinya Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai satu-satunya organisasi bagi seluruh pelajar dan mahasiswa Muslim di Indonesia. Keduanya pun bersifat independen dari kepentingan politik apa pun.

Masyumi dibubarkan

Pada 1960, Presiden Sukarno membubarkan Masyumi karena para tokoh partai itu dicurigai sebagai dalang peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Menurut sebagian sejarawan, PRRI sendiri sulit dikatakan sebagai sebuah pemberontakan, melainkan ketidaksepahaman belaka antara daerah dan Jakarta.

Munculnya Orde Baru kian memudarkan konsolidasi umat Islam Indonesia dalam wadah KUII. Terbukti, selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto, tidak ada satu pun KUII terselenggara.

Runtuhnya kekuasaan Orde Baru menumbuhkan kembali harapan lama. Pada awal era Reformasi, KUII kembali digelar di Jakarta pada 3-7 November 1998. Untuk KUII ketiga ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil peran sebagai panitia penyelenggara. KUII 1998 menghasilkan sejumlah rekomendasi.

Pertama, kongres akan diselenggarakan secara rutin  setiap lima tahun sekali. Kedua, kebijakan pemerintah yang merugikan umat Islam segera dicabut, misalnya, asas tunggal Pancasila. Ketiga, peningkatan peran MUI sebagai lembaga fatwa negara. Keempat, umat Islam diminta mewaspadai bahaya laten komunisme, zionisme, dan sekularisme.

Pada 17-21 April 2005, MUI kembali menggelar KUII keempat di Jakarta. Fokus KUII kali ini adalah merumuskan strategi kebudayaan dan etika ukhuwah umat Islam. KUII kelima diselenggarakan di Jakarta pada 7-10 Mei 2010. Kongres ini menyepakati pembentukan Badan Pekerja sebagai pihak yang melakukan pemonitoran atas penerapan rekomendasi KUII dalam ormas-ormas Islam di Indonesia.

Sementara, KUII keenam rencananya diselenggarakan oleh MUI di Yogyakarta pada 8-11 Februari 2015. Mengusung tema "Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban",  KUII ini menumbuhkan harapan dari seluruh ormas Islam di Indonesia. Mereka berharap, KUII kali ini dapat menjadi tonggak bersejarah dan penggerak utama kekuatan umat Islam Indonesia.  c14 ed: Wachidah Handasah

Berita Terkait

Berita Terkait

Rekomendasi

Republika TV

>

Terpopuler

>