Clock Magic Wand Quran Compass Menu

Demokrasi Jangan Buat Bosan Rakyat!

Red:

Andi Irmanputra Sidin, lahir pada 23 Desember 1974 di Makassar . Dia merupakan pakar hukum tata negara alumni Universitas Hassanudin Makassar. Kepakarannya memukau banyak pihak sehingga dia kerap disebut sebagai "saksi ahli abadi" bila terjadi gugatan hukum sebuah perundangan di Mahkamah Konstitusi.

Sponsored
Sponsored Ads

Dalam wawancara kali ini, Irman melihat situasi terbelahnya masyarakat yang begitu akut semenjak digelarnya ajang kompetisi Pemilihan Presiden 2014. Menurutnya, bila keterbelahan ini tak segera diselesaikan, risikonya masyarakat luas akan putus asa atas pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Akhirnya, mereka kemudian merindukan kembali datangnya "orang kuat" baru kembali.

Scroll untuk membaca

''Kini, antarsaudara kandung bisa berbeda pilihan, antarsuami dan istri bisa berbeda pilihan, antartetangga bisa berbeda pilihan yang ini kemudian membuat munculnya situasi yang sedikit menegangkan. Ke depan, situasi panas ini harus bisa segera diredakan,'' kata Irman.

Di dalam konstitusi Indonesia ditegaskan bahwa negara kita ini adalah negara hukum. Nah, apakah cita-cita ini sudah terjadi atau juga sampai kini masih merupakan cita-cita?

Selama kurun waktu 16 tahun pascareformasi, sebenarnya kita sudah banyak mengalami proses kemajuan dalam pembentukan negara hukum. Negara hukum yang kita bangun adalah negara yang berdasarkan prinsip demokrasi konstitusional. Artinya bahwa segala proses negara itu tidak sekadar berada dalam ruang demokrasi yang sifatnya kuantitatif, tapi sistem yang sifatnya berada dalam ukuran-ukuran kualitas dari pada pelaksanaan demokrasi. Hal inilah yang kita coba bangun semenjak 1998 di mana rakyat secara pelan-pelan telah memainkan sebagai aktor pertama dalam proses bernegara kita.

Memang dalam proses selama 16 tahun ini masih ada kekurangan-kekurangan yang dihadapi, maka itu hal biasa saja. Namun, secara keseluruhan dalam kurun ini kita mengalami kemajuan, terutama di dalam soal demokrasi yang kini tampak nyata sudah lebih memiliki harkat dan martabat. Kita saat ini memang dalam posisi atau sampai pada proses yang menegangkan, terutama dalam menghadapi pemilu legislatif dan pemilu presiden ini. Namun, saya yakin seusai ini semua keadannya membaik seiring semakin tinggi kesadaran kita dalam bernegara.

Banyak orang terkesan tidak sabar pilihan pendiri bangsa ini yang memilih menerapkan negara hukum daripada negara kekuasaan. Apakah sikap ini sudah mulai terasa atau malah makin menurun seiring dengan hadirnya euforia reformasi?

Asumsi itu tidak bisa juga dikatakan keliru. Ketika kita membuka jalur-jalur demokrasi secara konstitusional dan ketika hak setiap setiap kelompok bisa bicara atau ketika media massa diberi kebebasan, nah ini memang kemudian memunculkan anomali-anomali problema yang kemudian seoalah-olah bangsa ini mau melakukan proses bunuh diri atas demokrasi. Sering orang mempersoalkan proses-proses konstitusional dan negara hukum yang berlnadaskan hanya pada biaya yang banyak sehingga proses konstitusional itu mau dihilangkan.

Nah, dalam soal itu saya ingin tegaskan jangan ukur proses negara hukum dengan mengkaitkan pada soal banyaknya biaya. Pada sisi lain, memang dengan sistem ini, maka akan muncul mekanisme saling kontrol yang durasi penyelesaian segala persoalan akan semakin panjang. Dan, ini tentunya jelas tak murah.

Kalau begitu, demokrasi dan proses menuju negara hukum butuh napas panjang dari masyarakat?

Iya, jelas begitu. Memang kita pelan-pelan kini tengah menginjeksikan kesadaran masyarakat tentang sistem negara hukum itu sendiri. Bahwa hal itu tidak mudah, misalnya, dengan sekadar menyesuaikan pada konsep demokrasi, tapi di sisi lain ada sistem yang kini tengah bergerak dengan segala objektivitas dan harapannya masing-masing. Hal inilah yang secara perlahan-perlahan kita mulai sadarkan kepada masyarakat.

Sebagai contoh anomali itu adalah ketika ada kekuatan rakyat yang begitu membenci pada sebuah lembaga demokrasi yang bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal, kita tahu lembaga DPR adalah peranti demokrasi yang harus secara terus-menerus dijaga martabatnya. Meski merupakan peranti utama demokrasi, tapi lembaga DPR ini dari hari demi hari terus saja didelegitimasikan hingga tingkat yang paling dasar. Hal ini memang harus menjadi pelajaran kepada masyarakat yang memang mau tidak mau ke depan tidak melakukan hal seperti itu lagi.

Semenjak dahulu, DPR sudah begitu banyak membuat banyak undang-undang. Tapi di sisi lain, juga muncul sikap pesimistis bahwa negara hukum itu tidak tecermin dari banyaknya undang-undang yang telah dibuat. Bahkan, semakin sedikit undang-undang yang dibuat, maka itu menjadi pertanda bahwa semakin baiknya negara hukum. Apa komentar Anda?

Saya setuju akan pendapat ini. Makanya, saya selalu tekankan jangan mengukur kinerja DPR melalui banyaknya undang-undang yang dihasilkan. Jadi, jangan mengambil acuan jumlah kuantitatif undang-undang yang dari hari demi hari mereka buat. Juga, jangan menghitung-hitung berapa jumlah aturan hukum yang dibuat DPR selama kurun waktu tertentu, misalnya, dalam kurun periode lima tahunan. Dan, di sini memang harus melihat bagaimana kualitas undang-undang yang mereka hasilkan. Sebab, bisa saja semakin banyak undang-undang yang dibuat, maka sesungguhnya semakin banyak masalah di negara tersebut. Bila ini tejadi, undang-undang yang dibuat itu malahan akan dapat semakin menyempitkan ruh dan ruang gerak demokrasi itu sendiri. Dan, di sini risikonya gerak-gerik kegiatan masyarakat juga akan bisa terbatas. Bila ini terjadi, jelas hanya merepotkan.

Maka, dalam hal ini, yang penting adalah pranata demokrasi seperti DPR juga harus mampu menangkap kapan pranata demokrasi itu mampu menangkap, kapan pranata sosial itu harus diatur, dan kapan pranata sosial itu tak perlu diatur. Juga, kapan pranta sosial itu perlu diberikan peranti penghukuman dan kapan tidak perlu diberi hukuman. Celakanya, sebagai contohnya kini semua aturan undang-undang yang dibuat DPR hampir semuanya mencantumkan sanksi pidana. Padahal, kita tahu kerap aturan atau sanksi pidana tidak mampu menyelesaikan persoalan sesungguhnya. Inilah salah satu hal yang perlu dipikirkan DPR ketika ke depan akan membuat aturan perundangan.

Bila kemudian mengacu pada bahan baku masyarakat Indonesia yang masih hidup dalam situasi paguyuban dan paternalistik, bisakah negeri ini menciptakan sebuah negara hukum? Sebab, jangan-jangan karena masih berada dalam situasi paguyuban yang paternalistik, masyarakat kita lebih suka memilih hidup dalam situasi "negara kekuasaan"?

Ketakutan saya adalah ketika 16 tahun keran demokrasi dibuka, tanpa sadar kelompok-kelompok yang mengatasnamakan gerakan demokrasi ini justru membuat masyarakat rindu pada negara kekuasaan. Ini terlihat jelas ketika ada kekuatan yang terus-menerus melakukan delegitimasi atas peran dan pranata lembaga demokrasi itu. Nah, ketika mereka mendelegitimasi lembaga DPR, presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, maka tanpa sadar masyarakat justru kemudian rindu pada harinya negara kekuasaan. Jadi, tanpa sadar kekuatan yang kini menyebut dirinya sebagai kekuatan demokrasi itu malah yang menciptakannya.

Anda melihat munculnya kecenderungan itu sebagai hal yang serius?

Iya, tapi saya harap sekali jangan sampai terjadi. Lihat saja sebentar lagi ada delegitimasi ke Mahkamah Konstitusi. Sekarang sudah terjadi pada lembaga Komisi Pemilihan Umum. Nah, fenomena ini tanpa sadar membangkitan kerinduan umat manusia bahwa memang yang benar adalah negara kekuasaan bahwa negara itu harus dipimpin oleh seseorang yang turun dari langit, keturunan dewa matahari atau keturunan dewi bulan. Bila ini terjadi, mereka akan memimpin kita secara absolut dengan harapan membuat kita bisa menjalani hidup dengan damai, aman, dan tenteram yang tidak seperti sekarang. Situasi inilah yang berbahaya, apalagi ini tanpa sadar diciptakan oleh kekuatan-kekuatan yang selama ini mengklaim sebagai kelompok pro demokrasi.

Kalau begitu, apa tantangan ke depan yang harus bisa diwujudkan?

Tantangan-tantangan ke depannya adalah bagaimana membuat pranata negara semakin kuat. DPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan presiden harus semakin percaya diri. Mereka harus sadar bahwa lembaganya bukan titisan kekuasaan, tapi merupakan titisan demokrasi yang mengemban kekuasaan atas nama rakyat untuk melaksanakan kekuasaan itu. Berbagai lembaga itu tak boleh terombang-ambing oleh opini atau stigma yang terbangun oleh berbagai kekuatan yang selalu gampang menyebut dirinya sebagai kekuatan demokrasi yang sebenarnya tengah berusaha mengembalikan pada situasi kepemimpinan tangan besi itu.

Lalu, apakah modal sosial masyarakat kita bisa menyeret ke arah situasi tangan besi?

Sekali lagi bisa saja terjadi. Bila kita melihat siapa saja yang pernah memimpin negara ini selalu dimaki-maki dengan sadis. Bukan itu saja, hampir setiap hari kita mendengar berita pejabat yang ditangkap karena korupsi.

Nah, semua ini bisa menjadi modal untuk membuat rakyat kembali ke sistem otoriter seperti dulu. Makanya saya pikir, paling tidak, dalam kurun lima tahun ke depan penguatan pranata demokrasi itu harus ada hasilnya. Bila tidak, rakyat akan timbul kebosanan pada demokrasi. Mereka kemudian berpikir tak usah lagi ada pemilu selama lima tahun, cukup kita cari saja "orang kuat". Ini yang berbahaya.

Melihat semua modal yang kini ada, apakah kita masih bisa optimistis?

Mau tidak mau kita harus optimists. Pemilu presiden ini harus menjadi jalan untuk membuat kita merasa cita-cita mewujukan negara hukum yang demokratis bisa terwujud. Memang saat ini kita tidak bisa membayangkan betapa republik ini kini terbelah sampai dengan kamar kehidupan pribadi kita. Antarsaudara kandung bisa berbeda pilihan, antarsuami dan istri bisa berbeda pilihan, antartetangga bisa berbeda pilihan yang ini kemudian membuat munculnya situasi yang sedikit menegangkan. Ke depan, situasi seperti ini harus segera dapat diredakan.

Untuk itu, pilpres kali ini merupakan ujian bagi masyarakat kita. Untuk itu, siapa pun yang nantinya terpilih melalui hasil penghitungan yang dilakukan oleh lembaga negara, yang bernama KPU atau kemudian berlanjut ke Mahkamah Konstitusi, maka kedua pasangan pilpres ini harus bisa meyakinkan seluruh relawan dan masyarakat pemilihnya bahwa siapa pun presidennya, maka akan kita dukung. Kami berharap keadaan sekarang ini akhirnya akan bisa memberikan jalan kecerahan pada mimpi terwujudkan negara hukum itu. Keterbelahan masyarakat yang kini terjadi hendaknya bisa menjadi pembelajaran serius bagi bangsa ini. n muhammad subarkah

Berita Terkait

Berita Terkait

Rekomendasi

Republika TV

>

Terpopuler

>