Clock Magic Wand Quran Compass Menu

Media Digital, Anak, dan Orang Tua

Red:

Hari Internet Aman Sedunia baru saja kita peringati pada Februari. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online telah menembus angka 1.022 anak pada 2015.

Sponsored
Sponsored Ads

Perinciannya, 11 persen anak korban kekerasan seksual online, 15 persen objek CD porno, 20 persen prostitusi anak online, 21 persen pornografi online, 24 persen anak memiliki materi pornografi, dan 28 persen merupakan pornografi online. Pada 2014 terdapat 932 kasus atau melonjak dibandingkan pada 2011 yang berjumlah 188 kasus.

Scroll untuk membaca

Sangatlah mengerikan kalau kasus kejahatan anak melalui internet meningkat tiap tahunnya. Belum lagi, pada 2014 Indonesia berada di urutan pertama dalam dunia maya terkait kasus kejahatan seksual anak atau child abuse material dari seluruh negara di dunia.

Kita menyadari kalau media digital bagi anak dan remaja memberikan kesempatan untuk akses informasi global, sumber edukasi, jaringan sosial antarteman, tempat untuk mendapatkan hiburan, games, dan partisipasi dalam komunitas online. Namun, selain itu, terdapat risiko yang mengintai, seperti berkeliarannya pedofil di dunia maya, orang tak dikenal, penyebaran kebencian, informasi yang bias, penyalahgunaan data pribadi, sexting, aktivitas ilegal (hacking, penyalahgunaan hak cipta), penculikan, cyber-bullying atau gangguan pada anak yang terjadi melalui internet, dan masih banyak risiko lainnya.

Di negara kita, sudah ada 88,1 juta orang yang menggunakan internet dari total populasi 259 juta jiwa. Ini adalah angka pada 2016 dan diperkirakan naik setiap tahunnya.

Pada 2014 pemerintahan kita, di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika, bekerja sama dengan UNICEF melakukan riset yang melibatkan anak dan remaja usia 10-19 tahun (sebanyak 400 responden) yang tersebar di seluruh negeri dan mewakili wilayah perkotaan dan perdesaan dengan judul "Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia", menemukan fakta bahwa setidaknya 30 juta anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet.

Studi ini mengungkapkan bahwa 69 persen responden yang menggunakan komputer untuk mengakses internet biasanya dengan personal komputer di warung internet dan laboratorium komputer sekolah. Kemudian, 34 persen menggunakan laptop di rumah dan hanya dua persen terhubung melalui video game.

Lebih dari setengah responden (52 persen) menggunakan ponsel untuk mengakses internet. Ada sekitar 20 persen responden yang tidak menggunakan internet dengan alasan utama tidak memiliki perangkat atau infrastruktur untuk mengakses internet atau dilarang oleh orang tua mereka untuk mengakses internet.

Terekspos pornografi

Motivasi anak-anak dan remaja menggunakan internet, yaitu untuk mencari informasi, terhubung dengan teman (lama dan baru), dan untuk hiburan. Pencarian informasi dilakukan karena adanya tugas sekolah. Sedangkan, penggunaan media sosial dan konten hiburan didorong oleh kebutuhan pribadi.

Dari studi ini terungkap pula ada banyak anak dan remaja yang memberikan informasi pribadi, seperti alamat rumah, nomor telepon, dan alamat sekolah. Sebagian besar menyadari pentingnya password untuk e-mail dan media sosial. Hampir semua tidak setuju pornografi, tetapi sebagian besar anak dan remaja telah terekspos konten negatif tersebut, terutama ketika muncul dalam bentuk iklan yang bernuansa vulgar.

Hasil studi menyatakan, kebanyakan anak dan remaja belajar internet dari temannya. Studi ini juga menyimpulkan karena ada sedikit keluarga yang menguasai dan menggunakan media digital maka sedikit juga orang tua yang mengawasi anak mereka ketika mengakses internet dan menjadi 'teman' anaknya dalam jejaring sosial. Sebaliknya, studi ini juga menyimpulkan semakin banyaknya orang tua dan guru yang menyadari manfaat media digital untuk mendukung pendidikan dan pembelajaran anak.

Mengenai tingkat kepercayaan anak dan remaja terhadap internet terungkap dalam laporan penelitian oleh UK Children Go Online Project yang berjudul "Internet Literacy among Children and Young People". Empat dari 10 anak umur Sembilan sampai 19 tahun mengatakan, mereka memercayai hampir semua informasi yang mereka temukan di internet, setengah dari mereka mengatakan sebagian informasi bisa dipercaya dan hanya satu dari 10 anak meragukan informasi online.

Riset ini setidaknya mewakili anak-anak dan remaja di Indonesia juga, mengingat karakter manusia pada usia ini masih polos dan dalam masa pencarian identitas diri, anak dan remaja di belahan dunia manapun sama. Hal yang harus dipahami adalah semakin bertambah usia sang anak, semakin terpapar internet, semakin besar pula informasi dan risiko yang dihadapi.

Selain bahaya atau risiko, kita mengakui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini juga membawa segudang keberkahan. Diiringi kesadaran orang tua akan manfaat internet maka peran aktif keluarga dalam hal ini orang tua sangat penting untuk memanfaatkan internet semaksimal mungkin.

Orang tua dapat menciptakan penggunaan internet yang aman untuk anak-anak dengan mendapatkan informasi dari keluarga dan teman; dari anak sendiri; penyedia jasa internet; sekolah anak; situs yang menyediakan informasi keamanan menggunakan internet (seperti nspcc.org.uk); TV, radio, majalah dan koran; pabrik atau toko yang menjual gadget; organisasi yang fokus pada kesejahteraan anak (KPAI); dan pemerintah di bawah Kemenkominfo dengan program Insan (internet, sehat, dan aman).

Peran orang tua

Adapun, peran orang tua di rumah untuk mendukung anak menggunakan internet dengan aman, pertama, secara teknik orang tua dapat menggunakan software untuk mencegah spam atau junk mail atau virus; menggunakan servis yang membatasi waktu anak menggunakan internet (pembagian waktu untuk belajar, bermain games, dan aktivitas di komunitas online); mengikuti jejak anak mengunjungi situs; memblokir atau memfilter beberapa jenis situs atau memanfaatkan filter yang disediakan penyedia jasa internet.

Kedua, dengan monitoring, yaitu mengawasi teman yang ditambahkan ke kontak anak di profil jejaring sosial atau aplikasi pesan; mengawasi profil anak di jejaring sosial atau komunitas online; mengawasi pesan yang diterima melalui e-mail atau aplikasi pesan; mengawasi situs yang dikunjungi anak.

Ketiga, memberlakukan pembatasan ketika mengunggah foto, video, atau musik yang di share ke lainnya; pembatasan informasi pribadi yang bisa dilihat oleh publik maya; pembatasan profil jejaring sosial yang dimiliki si anak; pembatasan ketika menonton video klip di internet; mengunduh musik atau film di internet; dan menggunakan aplikasi pesan.

Keempat, pengawasan aktif orang tua dalam hal keamanan menggunakan internet, yaitu dengan berbicara dan membantu anak mengenai hal yang harus dilakukan di internet bila diketahui ada gangguan atau bully; memberikan arahan bersikap terhadap orang lain di dunia maya; mengajarkan anak tentang cara menggunakan internet aman, seperti mengajarkannya menggunakan reporting tools; menjelaskan mengapa beberapa situs baik atau buruk; membantu anak ketika kesulitan menemukan atau melakukan sesuatu di internet.

Kelima, pengawasan aktif orang tua ketika menggunakan internet, yaitu menggunakan internet dengan anak; memotivasi anak menjelajahi dan belajar dari internet dengan cara sendiri; berada di dekat anak atau duduk di sampingnya ketika anak menggunakan internet; berbicara atau berdiskusi tentang hal yang dilakukan anak di internet.

Tentunya, kita tidak ingin pembatasan, monitoring, dan pengawasan aktif di atas mengurangi kesempatan yang bisa didapatkan anak melalui internet hingga meredam motivasi terus belajar. Kita menginginkan keseimbangan dengan menyadari sepenuhnya hal yang positif dan negatif.

Anak harus diberikan pengetahuan teknologi informasi dan arahan serta pengawasan sesuai umurnya. Selain itu, memberikan kepercayaan pada anak dan mengemukakannya terang-terangan akan membuat anak bertanggung jawab dengan perbuatannya.

Selain dibekali kepercayaan dari orang tua, kepercayaan yang paling penting adalah percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui ajaran berketuhanan YME inilah, seseorang yang sudah mengenali baik dan buruk mempunyai fondasi kuat dari segi psikologis yang kemudian memengaruhi cara berpikir dan bersikap.

Ya, selain anak-anak cerdas menggunakan internet, punya wawasan dan pandangan luas, mereka juga diharapkan punya kepribadian berbudi pekerti luhur. Peran aktif orang tua dalam mendidik anak di rumah membantu perkembangan anak untuk tumbuh menjadi manusia dewasa yang mengerti akan tanggung jawab hidupnya, baik kepada Tuhan YME, pribadi, dan sosial. 

Siti Zubaidah

Alumnus Ritsumeikan Asia Pasifik Universitas Jepang

Berita Terkait

Berita Terkait

Rekomendasi

Republika TV

>

Terpopuler

>