REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Indra Charismiaji menilai, Badan Intelijen Negara (BIN) tidak perlu masuk ke kampus-kampus untuk mengetahui kebenaran isu radikalisme di perguruan tinggi. Dia bahkan mempertanyakan urgensi atas usulan BIN masuk ke kampus-kampus tersebut.
"Apa hasil yang mau dicapai? Kalau penangkapan teroris seperti di UNRI sih sah-sah saja. Tapi kalau cuma untuk survei, sayang aja APBN-nya," ungkap Indra saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (12/6).
Indra menilai, sebaiknya pemerintah fokus pada pembenahan sistem pendidikan di Indonesia mulai dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Sebab merujuk pada beberapa survei seperti yang dilakukan Wahid Foundation, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan lainnya, menurut Indra, telah membuktikan, radikalisme dan intoleransi memang sudah masuk ke pendidikan dari level dasar sampai tinggi.
"Menurut saya butuh sistem pendidikan nasional baru yang benar-benar berlandaskan Pancasila dan UUD 1945," ungkap Indra.
Kendati begitu, dia juga tidak ingin jika sistem pendidikan yang baru mengacu pada sistem pendidikan ala Orde Baru. Di masa Orba pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) hanya menjadi sekadar hapalan saja.
"Untuk rumusannya mungkin bisa diawali dengan rekomendasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)," kata dia.
Sebelumnya, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta Badan Intelijen Negara (BIN) masuk ke kampus-kampus. Hal ini dikatakan Bambang menindaklanjuti data yang didapat pemerintah terkait sejumlah perguruan tinggi yang mahasiswanya sudah terpapar radikalisme. "Saya mendorong komisi I untuk menggerakan BIN untuk menyebar ke kampus apakah informasi itu benar adanya atau hanya isapan jempol," kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu di Duren Tiga Jakarta Selatan, Senin (11/6).
Ketua Umum PP Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Irfan Ahmad Fauzi, tidak setuju dengan usulan ketua DPR itu. Menurut dia, sebaiknya pemerintah memercayakan sepenuhnya penyelesaian isu radikalisme kepada pihak kampus.
"Hemat saya serahkan sepenuhnya ke pihak kampus. Karena menangani mahasiswa yg terpapar radikalisme di kampus harus dengan pendekatan yang khusus. Jangan sampai ada kekerasan di kampus," tegas Irfan, Selasa (12/6).
Dia mengatakan, radikalisme di kampus mesti diselesaikan secara terencana dan terukur. Sehingga, terus dia, jika BIN dan BNPT memiliki data siapa aja sivitas akademika yang terpapar radikalisme maka sebaiknya data tersebut diberikan kepada pihak kampus. "Biarkan kampus menyelesaikan dengan caranya sendiri, dengan pendekatan ilmiah, keilmuan, sosiologis dan psikologisnya. Ini yang hemat saya menjadi catatan penting. Bisa jadi kalau BIN masuk kampus belum tentu dapat menyelesaikan masalah juga," jelas Irfan.