Kamis 25 Jun 2020 16:24 WIB

Penyimpangan Sejarah Hubungan Islam dan Pancasila

Perdebatan soal Pancasila jangan sampai membenturkan bangsa.

Perdebatan soal Pancasila jangan sampai membenturkan bangsa. Suasana rapat BPUPKI
Foto: 50 tahun Indonesia Merdeka
Perdebatan soal Pancasila jangan sampai membenturkan bangsa. Suasana rapat BPUPKI

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Syaiful Arif*

 

Baca Juga

 

Problem utama bangsa ini ialah deviasi (penyimpangan) dari semangat kebangsaan pendiri bangsa. Dalam proses deviatif ini, muncul berbagai simplifikasi atas fakta sejarah. Hasilnya, sebuah pengerasan sektarianisme yang bertentangan, terutama dengan visi para pendahulu yang saleh.  

 

Simplifikasi atas fakta sejarah ini misalnya terdapat pada kesimpulan bahwa di dalam rapat-rapat perumusan dasar negara, mulai dari Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Panitia Sembilan hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); hanya terdapat dua kelompok ideologis, yakni Islam berhadapan dengan nasionalis. Kelompok Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Kelompok nasionalis memperjuangkan nasionalisme sebagai dasar negara. Dalam perjalanan, ideologi nasional ini lalu disebut Pancasila.   

 

Dipahami bahwa kelompok nasonalis tersebut bersifat sekuler, karena bagi kaum devianis ini, penganjur dasar negara non-Islam, pastilah otomatis sekular. Mereka tidak mampu membaca fakta subtil, bahwa tidak ada kelompok sekular di dalam Sidang BPUPK, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI).

 

Hingga 1945, PKI masih dilarang (ilegal) oleh pemerintahan Jepang akibat pemberontakan pada 1926. Dengan ketiadakan anggota PKI dalam Sidang BPUPK, otomatis tidak ada penganjur sekularisme dalam perumusan dasar negara.

 

Alhasil, hanya ada dua kelompok besar dalam sidang tersebut. Pertama, kelompok Islam-nasionalis. Kedua, kelompok nasionalis-religius. Kelompok pengajur dasar negara Islam, bagaimanapun tetap nasionalis karena imaji kenegaraannya mengacu pada negara-bangsa, bukan misalnya Pan-Islamisme dalam bentuk kekhilafahan global. 

 

Untuk cita-cita khilafah ini, para aktivis Islam di Indonesia telah menguburnya setelah perselisihan antara kaum modernis dan tradisionalis dalam Kongres Al-Islam IV pada 1925. Di dalam kongres itu, tidak ada kesepakatan apakah Muslim Indonesia harus mengikuti Kongres Khilafah di Mesir atau Arab Saudi. Ketidaksepakatan ini akhirnya membuyarkan agenda respon umat Islam atas runtuhnya Turki Usmani. Fokus umat Islam kembali pada hajat hidup dalam negeri: mengusir penjajahan. 

 

Maka, bukannya Pan-Islamisme yang digaungkan sebagaimana para pengusung khilafah hari ini. Melainkan nasionalisme Islam. Kiai Wahab Hasbullah lalu mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1914 yang berprogram sekolah kebangsaan bagi kalangan pesantren, aktivis Islam di Kairo dan Mekkah mendirikan Partai Muslimin Indonesia pada 1932, dan Sarekat Islam (1912) mengembangkan nasionalisme berhaluan sosialisme Islam. Berdasarkan pengalaman melawan penjajahan inilah, nasionalisme lalu menjadi perspektif keislaman.  

 

Dalam konteks inilah, wakil Muhammadiyah di BPUPK, Ki Bagoes Hadikoesoemo (31 Mei 1945) mengajukan Islam sebagai dasar negara. Karena menurutnya, “Islam tidak bertentangan, bahkan sangat sesuai dengan nasionalisme; agama merupakan pangkal persatuan; serta Islam menegakkan pemerintahan yang adil berdasar kerakyatan dan musyawarah”.  

 

Hanya saja peletakan Islam sebagai dasar negara mendapat kritikan dari penganjur nasionalisme. Bung Hatta yang berpidato pada 30 Mei 1945 mengritik paradigma Islamis yang mengandaikan kesatuan Islam dan negara. Menurutnya, paradigma ini mengalami bias hubungan Gereja dan negara di Eropa. Bagi Bung Hatta, hubungan “Ker ken Staat” (Gereja dan negara) berbeda dengan hubungan Islam dan negara. Baik Gereja maupun negara sama-sama “berbentuk negara”, sehingga ingin berkuasa atas umat yang sama. Sedangkan Islam menurutnya, adalah pimpinan jiwa, bukan negara. Oleh karenanya, ia merekomendasikan pemisahan antara urusan agama dengan urusan negara. Bukan pemisahan agama dari negara, pun penyatuan keduanya. 

 

 

Pemisahan urusan agama dan urusan negara menganut prinsip diferensiasi: pembedaan, antara wilayah agama yang berada di masyarakat, dengan negara yang berada di ranah politik. Ini berarti, Bung Hatta tidak menganut prinsip lainnya, seperti sekularisasi maupun islamisasi. 

 

Demikian Soepomo yang menegaskan sifat religius dari negara-nasional. Berpidato pada 31 Mei 1945, Soepomo melakukan pemilahan antara Negara Islam dengan negara berdasarkan nilai-nilai luhur Islam. Menurutnya, negara-nasional bukan a-religius, sebaliknya ia merupakan negara yang memuliakan nilai-nilai luhur Islam, meskipun tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. 

 

 

photo
Rapat BPUPKI - (dok. Istimewa)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement