Kamis 13 Aug 2020 12:05 WIB

Laporan Media: ISIS Bangkitkan Lagi Sel Tidurnya di Suriah

ISIS dilaporkan kembali bangkitkan sel-seli tidurnya di Suriah.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
ISIS dilaporkan kembali bangkitkan sel-seli tidurnya di Suriah. Gerakan ISIS (ilustrasi)
Foto: VOA
ISIS dilaporkan kembali bangkitkan sel-seli tidurnya di Suriah. Gerakan ISIS (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS – Baru-baru ini, isu tentang kembalinya kelompok teror Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di berbagai daerah di gurun Suriah, Homs, pedesaan Aleppo dan Idleb sering terdengar. Hal ini menunjukkan ISIS mulai menggunakan strategi yang berbeda untuk menyusun kembali pasukannya. 

Muncul juga kemungkinan ISIS mulai beroperasi dengan cara yang berbeda. Hal ini dilakukan karena mereka mengetahui kebebasan yang bisa dinikmati saat menyerang target apa pun, baik sipil maupun militer, pada waktu tertentu.  

Baca Juga

Dalam sebuah artikel di The Syrian Observer, disebutkan tidak diragukan lagi harapan ISIS untuk menguasai tanah yang luas dan memaksakan pemikiran kekhalifahannya kembali mengudara.  

Kehadiran pasukan asing, yang dipimpin Amerika Serikat di Suriah timur, dapat menjadi hambatan utama bagi ISIS untuk kembali beroperasi secara normal. Meski demikian, meningkatnya frekuensi operasi ISIS menunjukkan tidak adanya strategi untuk mengamankan wilayah politik, keamanan, sosial, dan ekonomi di timur laut Suriah.  

Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Tidak ada konsepsi politik dan strategis yang terintegrasi, tentang bagaimana situasi di Raqqa dan wilayah lain pasca-pemberantasan organisasi teroris di beberapa tingkatan.  

Di tingkat pendidikan, jumlah warga sipil yang menjadi sasaran kendali ISIS di Suriah mencapai lebih dari 300 ribu. Mereka merupakan warga sipil rentan yang hidup di bawah pemerintahan militer dan agama yang sangat ketat. Ratusan ribu orang ini diberitahu apa yang akan dikenakan, jam kerja yang telah ditetapkan, bahkan seluruh hidupnya telah dipetakan.  

Yang terpenting, ISIS mengubah kurikulum di semua sekolah yang dikuasainya. Kelompok ini menambahkan banyak konsep ekstremis dan agama. Konsep ini dapat memengaruhi pola pikir generasi yang hidup di bawah kendali ISIS, terutama jika menyangkut konsep toleransi dan hidup berdampingan. 

Jumlah pemuda Suriah yang melakukan operasi bunuh diri atas nama ISIS telah meningkat sejak 2016. Tercatat ada perlawanan sosial yang parah terhadap manajemen organisasi di wilayah Suriah sebelum mengambil kendali atas Raqqa. Perlawanan ini menyebabkan terbunuhnya banyak pejuang dan aktivis Tentara Pembebasan Suriah yang mengekspos praktik organisasi melalui media.  

ISIS akhirnya membunuh mereka, yang berarti generasi baru pemuda Suriah ada kemungkinan telah dicuci otaknya. Mereka juga kemungkinan merasa bingung setelah organisasi tersebut dihilangkan oleh militer. Namun, generasi muda memiliki potensi menjadi sasaran empuk operasi teroris di dalam atau di luar Suriah.  

Program pendidikan darurat harus disiapkan. Fungsinya, membebaskan pemuda Suriah dari bahaya ekstremis ISIS. Rehabilitasi sistem sekolah serta lembaga pendidikan juga diperlukan dengan cara yang melawan ideologi ekstremis. 

Pasukan Demokrat Suriah (SDF) yang menguasai daerah-daerah ini memberlakukan kurikulumnya sendiri dan berjalan menjauh dari jalur sebenarnya. Mereka mengagungkan Abdullah Öcalan dan menggantikan pemimpin Assad dan ISIS dengan Öcalan.  

SDF juga mengubah konsep budaya dan agama dengan cara yang bertentangan dengan konsep dan tradisi suku-suku yang sudah ada sebelumnya di wilayah tersebut.  

Di tingkat politik, SDF mampu mengontrol Raqqa secara sepihak. Dengan dukungan Amerika Serikat, timbul keraguan tentang kemungkinan pembagian Suriah. 

Situasi ini semakin diperumit dengan kecenderungan nyata dari SDF, yang sebagian besar terdiri dari Kurdi, untuk membangun pemerintahan sendiri di wilayah-wilayah tersebut, meskipun mereka tidak pernah menikmati suara mayoritas di wilayah itu.  

Hal ini akan membuat Raqqa rentan terhadap ketidakstabilan politik dalam jangka pendek dan panjang. Kondisi ini akan meningkatkan konflik sipil yang mungkin berubah menjadi konflik etnis, karena perselisihan sejarah antara suku dan klan Arab di wilayah tersebut dengan Kurdi.  

Kegagalan mencapai solusi politik dan pembatasan rencana untuk mengalahkan ISIS secara militer hanya akan memperdalam kekosongan keamanan di wilayah tersebut. 

Kondisi ini memberi peluang akan kemunculan organisasi teroris lain yang mungkin menggantikan ISIS, seperti yang terjadi di Irak pada 2004 setelah eliminasi al-Zarqawi.  

Pembebasan Raqqa tidak akan menjadi akhir dari ISIS di Suriah. ISIS telah mengalihkan fokusnya ke sel-sel yang tertidur, sambil mengikuti strategi menyasar target secara diam-diam.  

Hal ini memungkinkan ISIS menyerang sasaran sipil dan militer, di setiap wilayah yang kapasitasnya memungkinkan. Strategi inilah yang akan meningkatkan popularitas ISIS dan memungkinkannya mempertahankan ideologinya alih-alih padam secara permanen. 

Sumber:  https://syrianobserver.com/EN/commentary/59784/islamic-state-resurfaces-in-syria.html Cek Typo

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement