Jumat 14 Aug 2020 08:00 WIB

Ketabahan Muhammad Menghadapi Ancaman Pembesar Quraisy

Perlindungan Abu Thalib kepada Muhammad atas ancaman para pembesar Quraisy

Suasana suku Quraius di Makkah zaman dahulu (ilustrasi)
Foto: google.com
Suasana suku Quraius di Makkah zaman dahulu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Bagaimana Islam menghadapi gempuran para orang kaya dan para penyair terkemuka di masa awal dakwah Nabi Muhammad Saw. Untuk menjawabnya ada kisah yang sangat menarik yang ditulis Muhammad Husain Haekal. Dia adalah penulis asal Mesir yang disebut salah satu penulis biografi Muhammad yang terbaik di masa modern.

Tulisan itu di antaranya begini:

------------------------

Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, adalah para hartawan yang gemar bersenang-senang. Kala itu mereka pun mulai merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka.

 

Jadi, yang mula-mula harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara mendiskreditkannya, dan mendustakan segala apa yang dinamakannya kenabian itu.

Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin’l-Harith, ‘Amr bin’l-‘Ash dan Abdullah ibn’z- Ziba’ra, supaya mengejek dan menyerangnya. Kala itu penyair-penyair Muslimin juga tampil membalas serangan mereka tanpa Muhammad sendiri yang harus melayani.

Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mukjizat yang akan dapat membuktikan kerasulannya: mukjizat-mukjizat seperti pada Musa dan Isa.

Dalam soal mukjizat mereka bertanya: Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak disulapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul di hadapan mereka?

Dan juga, kenapa Muhammad tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat Makkah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak bisa memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?

Tidak hanya sampai di situ saja kaum musyrikin itu mau mengejeknya dalam soal-soal mukjizat, malahan ejekan mereka makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?

Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang datang kepada Muhammad menjawab debat mereka:.“Katakanlah: ‘Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib- gaib, niscaya kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku. Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa berita gembira bagi mereka yang beriman.” (Qur’an 7: 188)

Ya, Muhammad hanya mengingatkan dan membawa berita gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?!

Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi padahal yang diharapkannya dari mereka agar mereka mau menerima suara yang sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?!

Bagaimana pula mereka masih menuntutnya dengan beberapa mujizat, padahal kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan yang benar itu adalah mujizat dari segala mujizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat lagi dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu nanti merekapun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah mereka atau tidak?

Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak lebih adalah batu- batu atau kayu yang disangga atau berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir, yang tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya. Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut pembuktian sifat-sifat ketuhanannya.

Bahkan kalaupun berhala yang dituntut, pasti ia akan tetap batu atau kayu, tanpa hidup, tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak bahaya atau membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang menghancurkannya iapun takkan dapat mempertahankan diri.

Pada waktu itu, Muhammad pun sudah terang-terangan menyebut berhala-berhala mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya. Ia mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan demikian.

Hal ini menjadi soal besar bagi Quraisy dan dirasakan menusuk hati mereka. Tentang laki-laki itu, serta apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia, sekarang mulai sungguh- sungguh menjadi perhatian mereka. Sampai sebegitu jauh mereka baru sampai memperolok kata-katanya.

Apabila mereka duduk-duduk di Dar’n Nadwa, atau disekitar Ka’bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah mereka dengan sikap tidak lebih dari senyuman mengejek dan berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, ‘Uzza dan semua berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan cemoohan, melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan.

Atau, andaikata orang itu sampai dapat menghasut penduduk Mekah melawan mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil apa yang akan diperolehnya dari perdagangan Mekah itu? Dan bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?

Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar itu pemuka-pemuka bangsawan Quraisy - dengan diketahui oleh Abu Sufyan bin Harb - pergi menemui Abu Talib.

“Abu Talib,” kata mereka, “kemenakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita. Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau tidak biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau dari pihak kami menghadapi dia.”

Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali. Sementara itu  Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah banyak.

Akibatnya, para pembesar, orang kaya, dan penyair Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai ‘Umara bin’l-Walid bin’l-Mughira, seorang pemuda yang montok dan rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak angkat, dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan kepada mereka.

Namun, ini pun ditolak. Muhammad terus juga berdakwah, dan Quraisypun terus juga berkomplot.

Bahkan hingga ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib agar dia menghentikan dakwah salah satu anggota kelurganya.

“Abu Talib’” kata mereka, “Engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta supaya menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum kausuruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa.”

Maka dengan berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Tapi dia juga tak sampai hati ia menyerahkan atau membuat kemenakannya itu kecewa. Lalu gerangan apa yang harus dilakukannya?

Kemudian Abu Thalib meminta Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan Quraisy itu. Lalu katanya: “Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”

Mendengar kisah sang paman, Muhammad pun terpekur. Dia tahu betapa berat perasaan Abu Thalib. Betapa dia tak mungkin berhadapan dengan kaumnya sendiri. Tapi dia pun paham betapa besar cintanya kepadanya. Muhammad tahu sang paman selaku bangsawan Quraisy selalu melindunginya, selalu menjadi perisai dakwahnya. Namun di pihak lain dia sudah bertekad bahwa itulah sikapnya sebagai seseorang yang ditunjuk untuk memberi risalah kebenaran Allah.

Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia menoleh kepada pamannya seraya berkata:

“Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa karenanya.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement