Jumat 09 Oct 2020 22:03 WIB

LBH-YLBHI Ungkap 13 Tindakan Represif Aparat Saat Demo

Polisi membubarkan massa aksi dengan cara kekerasan

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Nur Aini
 Ketua YLBHI Asfinawati
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua YLBHI Asfinawati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)  mengecam tindakan represif aparat kepolisian kepada massa aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. Ketua YLBHI Asfinawati mengungkapkan pihaknya menerima banyak laporan dari LBH di berbagai daerah ihwal tindakan represif polisi saat aksi, dengan cara yang beragam.

"Kapolri harus segera memerintahkan aparatnya untuk menghentikan tindakan-tindakan brutal dan represif, " tegas Asfinawati kepada Republika.co.id, Jumat (9/10). 

Baca Juga

Ia pun mengungkapkan sejumlah laporan yang diterima YLBHI dan 16 kantor LBH di Indonesia. 

1. Polisi memukul Advokat/penasehat hukum mahasiswa yang ditangkap di Semarang (Jawa Tengah) dan Manado (Sulawesi Utara). Di Manado, polisi juga mencekik leher dan berupaya untuk menangkap penasehat hukum di Manado.

2. Polisi menghalang-halangi dan tidak memberikan akses pengacara/penasehat hukum LBH untuk mendampingi masyarakat yang ditangkap dan dibawa ke kantor-kantor polisi;

3. Polisi menghalang-halangi aksi dengan menangkapi masyarakat yang mau berunjuk rasa di jalan-jalan, stasiun kereta api, jembatan, dan lainnya.

4. Menstigma “perusuh” bagi peserta aksi;

5. Memprovokasi warga untuk perang kelompok yang berdampak pada aksi mahasiswa. Akibatnya banyak mahasiswa yang menjadi korban anak panah;

6. Polisi membubarkan massa aksi tanpa alasan dengan menembakkan gas air mata dan water canon;

7. Polisi menyerang paramedis dengan gas air mata;

8. Polisi memukuli massa aksi ketika ditangkap;

9. Polisi menelanjangi massa aksi ketika ditangkap.

10. Polisi tidak memberikan makanan pada massa yg ditahan sejak siang sampai malam hari.

11. Polisi merampas hp dan mengangkut motor

12. Pengerahan tentara dalam pengamanan dan sweeping aksi massa

13. Polisi memukul, menangkap, lalu membebaskan kembali peserta aksi dengan keterangan salah tangkap.

Asfinawati mengatakan, tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian tersebut melanggar kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang jelas dijamin oleh UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Selain melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, polisi juga melanggar Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang  Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru Hara (PHH). 

"PHH dilaksanakan apabila terjadi peningkatan situasi dari situasi kuning menjadi situasi merah," ujar Asfinawati.

Sementara aksi massa dilakukan dengan damai, tetapi justru polisilah yang melakukan kekerasan. Kerusuhan terjadi karena tindakan aparat yang dengan sengaja membubarkan massa aksi dengan kekerasan.

"Atas hal ini, Presiden dan Kapolri untuk menghormati UUD 1945 & amandemennya serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk pendapat di muka umum, " ujarnya. 

"Presiden RI agar segera mengeluarkan PERPPU yang mencabut UU Cipta Kerja, " ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement