Jumat 30 Oct 2020 12:26 WIB

Persepsi Buruk Kinerja Jokowi di Bidang Hukum

Pemberantasan korupsi dianggap sebagai aspek terlemah kinerja Jokowi.

Faktor korupsi menyebabkan persepsi buruk tersemat dalam penegakan hukum pemerintahan Jokowi-Maruf.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Faktor korupsi menyebabkan persepsi buruk tersemat dalam penegakan hukum pemerintahan Jokowi-Maruf.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Dessy Suciati Saputri

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indonesia Political Opinion (IPO), kinerja pemerintah RI dalam bidang hukum dan keamanan mendapatkan persepsi buruk. Persepsi buruk ini, berdasarkan survei tersebut dipengaruhi penilaian bahwa pemberantasan korupsi di era Jokowi-Ma'ruf lemah.

Baca Juga

Berdasarkan survei tersebut, 56 persen menyatakan kinerja di bidang hukum buruk. Bahkan, delapan persen responden menyebut kinerja hukum dalam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin ini buruk. Hanya 29 persen yang menganggap baik, dan tujuh persen lainnya menilai sangat baik.

Direktur IPO Dedi Kurnia Syah menjelaskan, ada sejumlah faktor korupsi yang menyebabkan persepsi buruk tersemat dalam penegakan hukum. "Performa pemberantasan korupsi menjadi pemantik terbesar buruknya bidang penegakan hukum, terlebih kurun periode survei berbagai persoalan korupsi semakin menguat," kata Dedi saat dikonfirmasi, Kamis (29/10).

Dalam survei yang melibatkan 170 orang pemuka pendapat (opinion leader) yang berasal dari peneliti universitas, lembaga penelitian mandiri, dan asosiasi ilmuwan sosial/perguruan tinggi itu, 62 persen menyatakan ketidakpuasan dalam pemberantasan korupsi.  Selain korupsi, sebanyak 56 persen responden tidak puas dengan independensi penegak hukum.

Sebanyak 52 persen merasa tidak puas dengan kebebasan berpendapat. Kemudian 48 persen merasa tak puas dengan kualitas kebijakan. Kemudian 36 persen lainnya merasa tidak puas dengan aspek penegakkan hukum lainnya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga memberikan rapor merah terhadap kinerja Jokowi di bidang pemberantasan korupsi. Hal ini ditandai saat munculnya revisi UU KPK melalui UU nomor 19 tahun 2019 tentang pemberantasan korupsi. UU tersebut dianggap mengebiri kekuatan KPK.

Hal ini bahkan diperburuk dengan seleksi pimpinan KPK yang akhirnya dianggap bermasalah oleh sejumlah pihak. Seorang perwira Polri yang sebelumnya memiliki perkara kode etik di KPK, Firli Bahuri justru terpilih menjadi Ketua KPK.

"Sejarah kemudian mencatat bahwa KPK sebagai anak kandung reformasi berhasil dibuat tidak bertaji oleh Jokowi. KPK pascarevisi semakin terpuruk kondisinya karena seleksi pimpinan KPK yang juga sangat bermasalah," demikian pernyataan ICW yang dikirimkan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana pada Republika.co.id.

ICW dan Transparency International Indonesia mencatat, setidaknya ada tiga problematika di kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini mulai dari pengelolaan internal kelembagaan, penindakan, maupun pencegahan. "Seluruh problematika itu tak bisa dilepaskan begitu saja dari figur Pimpinan yang pada periode lalu dipilih oleh Presiden Joko Widodo bersama dengan DPR," kata Kurnia.

Sampai pertengahan tahun setidaknya terdapat empat lembaga survei yang menyebutkan KPK kini tidak lagi menjadi lembaga kepercayaan publik. Para penegak hukum lain terkait korupsi juga dinilai ICW tidak jauh berbeda.

Salah satu indikator yang dapat digunakan di antaranya adalah performa buruk Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam kasus buronan hak tagih Bank Bali, Djoko S Tjandra. Kasus ini menyeruak ke tengah publik pada pertengahan tahun, yang mana ditemukan adanya persekongkolan para penegak hukum, baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan Agung.

Catatan buruk pemberantasan korupsi yang dijumpai lainnya adalah terkait konflik kepentingan. Terdapat setidaknya pembiaran hukum terhadap potensi konflik kepentingan di lingkar Istana yang terjadi tahun 2020 ini.

Potensi konflik kepentingan terjadi dalam penunjukkan penyedia platform dan lembaga pelatihan Skill Academy by Ruangguru tanpa melalui tender dalam program Kartu Prakerja. Ruangguru ini menjadi milik Adamas Belva yang ketika itu masih menjabat sebagai Stafsus Presiden sekaligus CEO dari Ruangguru.

Potensi konflik kepentingan lain terjadi pada Stafsus Muda Presiden Jokowi yang diketahui dan dibiarkan melakukan perbuatan tidak patut dalam jabatannya sebagai Stafsus Presiden yakni dan Andi Taufan Garuda (CEO Amartha). Ia pernah menyalahgunakan Kop Surat Sekretariat Presiden untuk menyurati lurah-lurah di Indonesia agar mendukung program korporasinya dalam membantu menangani Covd-19.

Padahal, alokasi anggaran yang diberikan ke institusi penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, KPK) cukup besar, yakni Rp 381,6 triliun. Namun ICW menilai besarnya anggaran untuk penyidikan tidak menjadikan institusi penegak hukum bertindak secara optimal.

Sepanjang semester I 2020 institusi penegak hukum hanya mampu menangani 169 kasus dari target kasus sebanyak total 2.225 kasus. Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni membantah pernyataan yang menyebut KPK dilemahkan dalam setahun Periode II pemerintahan Joko Widodo. Ia menilai pernyataan itu tak sepenuhnya benar.

Menurut catatan Sahroni, sejauh ini, KPK tetap aktif melakukan berbagai program pencegahan korupsi. Ia menyebut, ICW hanya melihat faktor penindakan dalam mengukur kekuatan KPK.

“Mungkin ICW hanya melihat kinerja KPK dari berapa banyak koruptor yang ditangkap. Padahal kan kita semua sepakat, yang harus digenjot oleh KPK adalah fungsi pencegahan. Bagaimana orang tidak bisa leluasa lagi melakukan korupsi,” ujar Sahroni pada wartawan, beberapa waktu lalu.

Politikus Nasdem ini mencontohkan, saat ini, KPK sendiri telah memiliki Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stratnas PK) yang telah dilakukan oleh 54 kementerian/lembaga di 34 provinsi, dan 508 kabupaten/kota dan secara nasional. Adapun pencapaian dari program ini adalah sebesar 58,52 persen ada dalam kategori baik.

“Dari sini saja kita bisa lihat bahwa KPK makin ke sini makin proaktif masuk ke banyak lini di pemerintahan, baik pusat maupun daerah untuk mengawasi dan memastikan sistem yg tak bercelah untuk melakukan korupsi,” kata Sahroni.

Dengan adanya program-program ini, menurut Sahroni para koruptor juga akan makin sulit untuk melakukan korupsi, hingga menyebabkan angka kasusnya berkurang.

“Kalau dengan fungisi pengawasan yang ketat ini orang-orang jadi susah korupsi, ya otomatis kasus OTT juga berkurang kan. Jadi saya rasa kita harus melihat hal ini dengan lebih holistik,” ujarnya menambahkan.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko beberapa waktu lalu menegaskan pemerintah akan merespons dengan baik berbagai masukan dari seluruh kalangan termasuk masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemerintah, kata dia, tak akan menutup diri, menutup mata, maupun menutup telinga atas masukan dan usulan-usulan yang disampaikan.

“Pemerintah sangat respons terhadap berbagai masukan, kita tidak menutup diri tidak menutup mata, tidak menutup telinga. Jadi masukan-masukan tersebut diperlukan karena sejatinya membangun sebuah negara ini,” kata Moeldoko kepada wartawan di kantornya, Rabu (21/10).

Apalagi di tengah situasi pandemi saat ini, Moeldoko menekankan pentingnya kerjasama seluruh pihak baik pemerintah maupun masyarakat. “Di tengah-tengah lingkungan yang tidak seperti biasanya, maka yang diperlukan adalah bagaimana semuanya bergandengan tangan,” ucapnya.

Terkait berbagai masukan yang disampaikan kepada pemerintah, ia mengatakan pemerintah memang tak bisa bekerja secara sempurna. Namun, pemerintah akan terus melakukan perbaikan.  

Ia pun meminta agar di situasi sulit saat ini, masyarakat tak mempersulit diri sendiri. Dengan bekerja sama, Moeldoko yakin persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.

“Semuanya memahami bahwa situasi saat ini adalah situasi sulit tidak mudah, jangan kita mempersulit diri. Justru dengan bekerja sama berbagai pihak, dan pemerintah mendengarkan maka persoalan yang kita hadapi bersama ini pasti bisa diselesaikan dengan baik,” jelasnya.

Pemerintah juga disebutnya tidak melakukan tindakan represif kepada masyarakat. Tindakan yang dilakukan pemerintah selama ini bertujuan untuk melindungi seluruh masyarakat.

“Jadi pemerintah tidak ada sama sekali upaya untuk melakukan represif dengan tujuan-tujuan tertentu. Tidak. Tapi tujuan tadi adalah bagaimana pemerintah harus bisa berposisi untuk melindungi segenap bangsa,” kata Moeldoko.

Pemerintah bertanggung jawab menjaga keseimbangan antara stabilitas negara dan demokrasi agar berjalan baik. Menurutnya hal ini pun tidaklah mudah dilakukan.

photo
Kinerja KPK menjadi sorotan publik. - (Republika/Berbagai sumber diolah)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement