REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Dekan Fakultas Seni upa IKJ Anindyo Widito, dua tahun sudah sejak Pandemi Covid-19 diumumkan sebagai Pandemi Global di Indonesia, terdapat perubahan yang sangat signifikan khususnya dalam setiap gerak kehidupan manusia. Tak terkecuali dalam kehidupan kampus di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
"Roda aktivitas dan kreativitas seakan melambat, tidak lagi terdengar suara-suara dari segala penjuru, baik di luar maupun dalam ruangan," kata Anindyo, Senin (29/6).
Menurut Anindyo, suara yang terkadang bising memekakkan telinga yang keluar dari teriakan-teriakan mahasiswa teater yang sedang berlatih vokal, atau alunan musik perkusi yang lembut dari mahasiswa Musik tak lagi mengusik telinga. Di sudut lain, keheningan menggantikan suara-suara mesin pemotong kayu dari mahasiswa Kriya Kayu, gesekan pemutar keramik dan suara-suara khas lainnya yang hanya terdengar di satu tempat saja di Jakarta.
Sejauh mata memandang, hanya kehampaan dan kekosongan belaka yang tersaji. Tak terlihat lagi kelompokkelompok mahasiswa berbincang riuh di segala sudut. Penampakkan mahasiswa yang berjalan menyandang tabung, membawa kanvas, kamera, atau alat musik di punggungnya digantikan oleh riuh rendahnya berjenis burung yang beraktivitas di ranting pohon bahkan tanah.
Baca Juga :
Presiden La Liga Spanyol Kecam Florentino Perez"Pandemi Covid 19 merubah segalanya," katanya.
Anindyo bertanya, apakah Kawah Candradimuka tempat seniman-seniman itu digojlok sebelum berkiprah di tingkat nasional maupun internasional itu sekarang telah mati? Dia pun menjawab tegas, tidak!
Baca Juga :
Ini Efek Pogba Singkirkan Botol HeinekenMenurutnya, sesuai dengan hukum Archimides, kreativitas akan mencari jalannya sendiri untuk tetap hidup dan berkembang. Kawah Candradimuka tersebut bernama Institut Kesenian Jakarta. Orang lebih akrab dengan menyebut singkatannya, IKJ.
Dampak Pandemi Covid 19 di IKJ tidak membuat IKJ kehilangan aktivitasnya. Justru dengan adanya pandemik tersebut, membuka ruang-ruang baru yang dapat dieksplorasi tanpa batas.
Terbukanya ruang-ruang dan ekosistem baru melahirkan diskursus, pemikiran dan proses kreatif yang baru, terutama dari sisi akademik. Penjelajahan tak terbatas di ruang virtual memungkinkan adaptasi yang baik dengan program pemerintah, yaitu Merdeka Belajar -Kampus Merdeka (MBKM). Jauh sebelum program MBKM diluncurkan, IKJ sudah melakukan pembelajaran lintas Program Studi dan Fakultas.
Beberapa saat yang lalu, tepatnya tanggal 26 Juni 2021, IKJ berusia 51 tahun. Sebuah rentang waktu yang tidak sebentar untuk membentuk pengalaman yang mumpuni dalam pengelolaan sebuah lembaga pendidikan kesenian yang menghasilkan ribuan lulusan.
"Tidak terhitung jumlah desainer, perupa, peneliti seni, aktor, animator, budayawan, musisi, penari, koreografer, skenografer, sineas dan lain-lain, yang dilahirkan dari Rahim IKJ. Secara akademik, IKJ telah mampu menjadi pelopor perkembangan seni dan industri seni di Indonesia serta manca negara dengan menjadi pusat pemikiran, perkembangan dan pertumbuhan seni tradisi tak hanya Betawi, namun mencakup seluruh Nusantara, dan juga seni kontemporer di Indonesia," katanya.
IKJ berdiri pada tanggal 26 Juni 1970. Semula perguruan tinggi kesenian ini bernama Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta. Gagasan awal pendirian lembaga pendidikan datang beberapa seniman dan budayawan, yang berfikir akan pentingnya wadah pendidikan untuk menghasilkan seniman dalam membangun peradaban kota.
Gagasan ini kemudian mendapat legitimasi dari dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sebuah lembaga independen yang dibentuk oleh para seniman pada tahun 1968. Pada awalnya tenaga pengajar berasal dari seniman yang berdomisili di Jakarta dan luar Jakarta (Bandung, Yogyakarta dan Sumatra Barat). Sejalan dengan perubahan dan dinamika kebijakan dalam bidang pendidikan, maka terdapat perubahan nama dari LPKJ menjadi menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Di tengah gelombang revolusi 5.0, eksistensi FSR IKJ teruji dari berbagai arah. Sebagai institusi pendidikan berbasis keterampilan, tentu menyelenggarakan sistem pendidikan berbasis digital tanpa tatap muka merupakan tantangan tersendiri.
Benarkah peran pendidik dapat tergantikan oleh teknologi?, lalu bagaimana interaksi, pengalaman berkesenian, nilai-nilai kemanusiaan dan ikatan emosional dapat terbangun diantara pendidik dan peserta didik, sebagai bagian dari proses kreativitas dalam menghasilkan karya-karya yang berkualitas?
Benarkah orientasi dan literasi baru dalam bidang pendidikan sudah mampu menyelesaikan permasalahan tersebut?. Setidaknya itulah penggalan kontemplasi yang perlu kita pikirkan bersama, sebagai “pekerjaan rumah” dalam menghadapi revolusi peradaban abad ini. Sehingga “kebertahanan” FSR IKJ menjadi pertaruhan semua pihak, bukan hanya pengelola institusi namun juga pendidik, peserta didik, alumni dan pemagku kepentingan lainnya.