Selasa 13 Jul 2021 16:26 WIB

Kisah Warga Afghanistan yang Mengungsi Usai Serangan Taliban

Kelompok minoritas Hazara menjelaskan taktik kekerasan yang digunakan Taliban.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Pengungsi Afghanistan (ilustrasi).
Foto: EPA-EFE/MUHAMMAD SADIQ
Pengungsi Afghanistan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, KAMP ISTIQLAL -- Sakina yang berusia 11 atau 12 tahun, berjalan bersama keluarganya selama 10 hari setelah Taliban merebut desanya di Afghanistan utara dan membakar sekolah di Abdulgan di provinsi Balkh. Mereka sekarang berada di antara sekitar 50 keluarga yang tinggal di kamp darurat di sebidang tanah berbatu di tepi kota utara Mazar-e-Sharif.

Sakina mengatakan tidak mengerti mengapa sekolahnya dibakar. Bahkan setelah mengungsi pun dia terkadang mendengar suara-suara di kegelapan malam. "Saya pikir mungkin itu Taliban dan mereka datang ke sini. Saya takut," kata gadis yang berharap suatu hari bisa menjadi insinyur.

Baca Juga

Mereka terpanggang dalam tenda plastik di bawah panas terik yang mencapai 44 derajat Celcius pada tengah hari. Tidak ada pohon dan satu-satunya kamar mandi untuk seluruh perkemahan adalah tenda compang-camping yang dipasang di atas lubang berbau busuk.

Ketika Taliban menyerbu melalui Afghanistan utara, ribuan keluarga seperti keluarga Sakina meninggalkan rumah, takut hidup di bawah kekuasaan pemberontak. Dalam 15 hari terakhir, menurut Kementerian Pengungsi dan Repatriasi, kemajuan Taliban telah mengusir lebih dari 5.600 keluarga dari rumah mereka, kebanyakan berada di bagian utara negara itu.

Di Kamp Istiqlal, keluarga demi keluarga, semuanya dari etnis minoritas Hazara, menceritakan tentang komandan Taliban yang menggunakan taktik kekerasan saat menyerbu kota dan desa mereka. Cara ini menimbulkan keraguan di antara banyak orang atas janji mengulangi aturan keras.

Yaqub Maradi melarikan diri dari desanya di Sang Shanda, tidak jauh dari Abdulgan, ketika Taliban tiba. Dia mengatakan milisi itu mencoba untuk mengintimidasi penduduk desa agar tetap tinggal. Saudara laki-laki Maradi dan beberapa anggota keluarganya ditangkap dan disandera untuk menghentikan mereka pergi.

"Mungkin dia dibebaskan hari ini, tapi dia tidak bisa pergi," kata Maradi dari dalam tenda plastik kecilnya yang terik yang dipasang di atas lantai lumpur yang terbakar matahari, dengan kasur dilipat di salah satu sudutnya.

Maradi mengatakan tidak mempercayai janji-janji Taliban. Banyak yang masih dihantui oleh kenangan pembantaian balas dendam yang menjadi ciri pemerintahan Taliban di daerah-daerah yang didominasi oleh etnis minoritas Afghanistan pada akhir 1990-an.

Mazar-e-Sharif adalah tempat pertumpahan darah yang mengerikan. Pada 1997, pejuang Uzbek dan Hazara membunuh sekitar 2.000 etnis Pashtun Taliban yang ditangkap di kota itu setelah kesepakatan gencatan senjata gagal.

Dalam beberapa kasus, milisi itu memaksa para tawanan untuk melompat ke dalam lubang di dataran utara kota, kemudian melemparkan granat dan menyemprot mereka dengan senjata otomatis. Tahun berikutnya, Taliban mengamuk melalui Mazar-e-Sharif, membunuh ribuan Hazara dan mengusir puluhan ribu lainnya melarikan diri ke Kabul.

Daerah yang dikuasai Taliban pun akan mengenakan biaya dan pajak sendiri. Sopir truk, Ashor Ali, mengatakan membayar kepada Taliban 12.000 Afghani untuk setiap muatan batu bara yang dibawa dari bagian yang dikuasai Taliban di provinsi tetangga Samangan ke Mazar-e-Sharif. Jumlah itu lebih dari setengah dari yang dihasilkan pada setiap angkutan.

Di pinggir kamp, Habibullah Amanullah menangis, putrinya yang berusia 7 tahun bersembunyi di balik lengannya. “Dia memintaku untuk makan. Apa yang bisa saya katakan padanya? Kami tidak punya apa-apa.” ujarnya menyadari tidak ada yang datang untuk membantu mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement