Selasa 19 Apr 2022 02:28 WIB

Pertamina Ungkap Enam Langkah Percepat Pengembangan EBT

Indonesia berkomitmen mencapai Karbon Normal (Net Zero Emission) pada 2060.

Rep: Novita Intan/ Red: Gita Amanda
Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab besar memajukan energi baru dan terbarukan (EBT). (ilustrasi).
Foto: borneomagazine.com
Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab besar memajukan energi baru dan terbarukan (EBT). (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab besar memajukan energi baru dan terbarukan (EBT). Indonesia berkomitmen mencapai Karbon Normal (Net Zero Emission) pada 2060.

Untuk menuju kesana, ada dua sasaran antara, yakni pencapaian bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan penurunan emisi gas ruang kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030. Adapun salah satu jenis EBT yang bisa menggantikan pembangkit tenaga uap (PLTU) sebagai pembangkit beban puncak (base-load) adalah pembangkit tenaga panas bumi (PLTP).

Baca Juga

Sumber daya panas bumi melimpah karena Indonesia berada di kawasan gunung api (ring of fire), pasokannya stabil, dan efisiensi konversi panasnya di atas 90 persen. Namun, masa pembangunannya lama, dan hal itu berakibat pada mahalnya harga listrik panas bumi.

Menurut Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi, peran pemerintah terutama untuk memperpendek masa pengembangan pembangkit panas bumi agar harga jual listrik lebih murah dan feasible bagi pengembang.

“Kalau mengikuti business as usual waktu pengerjaan panas bumi bisa sampai 12 tahun. Kalau waktunya bisa dikurangi empat sampai lima tahun, itu bisa menurunkan harga jual listrik,” ujarnya kepada wartawan, Senin (18/4/2022).

Dia mencontohkan tender PPA (purchasing power agreement) dengan PLN bisa tiga tahun dan juga perizinan semua level juga lama. “Pengembang tidak bisa bertahan dalam situasi seperti itu karena harus menanggung cost sampai 10-12 tahun, sementara pendapatannya baru muncul tahun ke-11, bahkan bisa tahun ke-14. Kalau bisa dikurangi empat sampai lima tahun, itu akan sangat membantu pengembang, sekaligus bisa menurunkan harga listrik dari panas bumi,” ucapnya.

Sementara itu Direktur Panas Bumi, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris Yahya mengatakan, ada enam poin yang bisa mempercepat pengembangan EBT di Indonesia, yakni Rancangan Perpres tentang harga EBT, Penerapan Permen ESDM tentang PLTS Atap, Mandatori bahan bakar nabati (BBN), pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, kemudahan perizinan usaha, dan mendorong demand ke arah energi listrik.

Empat dari enam poin itu berada di wilayah pemerintah. Dua lainnya, yakni mandatori BBN ada di ranah produsen BBM, dan mendorong demand bergantung pada konsumen. “Konsumen kita minta untuk menggunakan peralatan listrik seperti kendaraan listrik dan kompor listrik karena LPG pun masih kita impor, sampai 70 persen. Harga LPG ini juga rentan jika ada gangguan suplai seperti sekarang ini,” ucapnya.

Saat ini, tingginya harga minyak mentah menunjukkan bahwa energi fosil sangat rentan terhadap krisis seperti perang di Ukraina. Apalagi jika yang terlibat krisis negara penghasil minyak atau gas. Kenaikan harga yang tinggi juga pernah terjadi ketika Iran dan Nigeria dilanda krisis domestik dan perang. “Harga minyak mentah sudah di atas 100 dolar AS per barel, harga batu bara sempat di atas 400 dolar AS per ton Maret lalu. Padahal, tahun lalu rata-rata harga batu bara masih di bawah 200 dolar AS,” ucapnya.

Harga EBT, kata Harris, sekarang memang masih tinggi. Itu sebabnya, pemerintah berupaya menurunkan harganya agar bisa kompetitif dengan harga listrik dari energi fosil. “Harga listrik batu bara murah, tapi emisinya juga tinggi. Indonesia memang belum memasukkan cost lingkungan pada harga listrik. Kalau emisinya juga dihitung, Harris yakin harga listrik EBT bisa kompetitif. Apalagi, jika semua kebijakan pemerintah sudah diterapkan dan memberikan efek yang signifikan pada harga listrik EBT,” ucapnya.

Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Ahmad Yuniarto, mengatakan perusahaan pengembang panas bumi harus bisa mencapai efisiensi yang tinggi agar harganya bisa kompetitif. PGE berkomitmen terus mengembangkan panas bumi dan memastikan implementasi Environment, Social, and Governance (ESG) menjadi bagian terintegrasi dari bisnis panas bumi PGE. Adapun penerapan aspek-aspek ESG merupakan upaya dalam memberikan nilai tambah serta dukungan PGE pada program pemerintah terkait pemanfaatan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan, khususnya panas bumi.

“Komitmen PGE dalam pengembangan energi panas bumi dapat berkontribusi dalam mencapai target pembangunan berkelanjutan goals ketujuh (energi bersih dan terjangkau), goals kedelapan (pekerjaan yang layak dan pengembangan ekonomi), dan goals ke-13 (penanganan perubahan iklim) pada Sustainable Development Goals (SDGs),” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement