Jumat 28 Oct 2022 20:20 WIB

Haedar Nashir: Politik itu Pilar Persatuan, Bukan Pemecah Belah

Perbedaan pilihan politik merupakan tanda hidupnya demokrasi.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah KH Haedar Nashir.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah KH Haedar Nashir.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, politik harus menjadi pilar persatuan bangsa. Politik sejatinya bukanlah faktor pemecah belah.

"Politik harus menjadi pilar persatuan dan bukan faktor pemecah belah. Politik penting diletakkan di atas jiwa Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan sebagaimana nilai sila keempat Pancasila," kata Haedar melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat.

Baca Juga

Guru Besar Sosiologi ini mengajak semua pihak kembali merenungkan pesan luhur Sumpah Pemuda yang bersejarah untuk menguatkan persatuan. Menurut Haedar, tidak ada yang salah dengan perbedaan pilihan politik.

Perbedaan pilihan politik, kata dia, merupakan tanda hidupnya demokrasi dan kebhinekaan dalam berbangsa dan bernegara. Perbedaan pilihan politik, menurut Haedar, akan menjadi masalah apabila disertai sikap pemutlakan menang-kalah, yang menimbulkan sikap politik yang keras dan ekstrem.

Pada titik itulah, kata dia, politik menjadi virus pemecah dan bukan pemersatu bangsa.

Haedar menilai, politik identitas sejatinya tidak masalah karena setiap orang atau kelompok terikat dengan identitas mengikuti hukum homosapiens. Akan tetapi, masalah akan terjadi jika politik identitas berdasarkan agama, suku, ras, dan ideologi disalahgunakan dengan cara dan paham yang radikal-ekstrem.

"Pro dan antipolitik identitas pun bahkan menjadi benih pertengkaran baru sesama anak bangsa yang muaranya saling membelah," ujarnya.

Ia pun meminta semua pihak mengingat kembali pentingnya merajut persatuan menuju Indonesia Berkemajuan.

Menurutnya, tidak bisa dimungkiri, fakta sejarah menunjukkan bangsa Indonesia sebagai negara yang majemuk baik dalam aspek agama, suku, ras dan golongan.

Kemajemukan tersebut kemudian dibungkus dengan semboyan pemersatu bangsa, Bhinneka Tunggal Ika. "Berbeda-beda tetapi satu, serta satu dalam keberbedaan. Dengan jiwa Bhinneka Tunggal Ika itulah bangsa Indonesia memiliki daya hidup untuk tetap bersatu dalam keragaman, meski proses yang dijalaninya sarat suka dan duka," ujar Haedar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement